TEMULAWAK
( Curcuma
xanthorrhiza ROXB. )
1.
SEJARAH SINGKAT
Temulawak
merupakan tanaman obat berupa tumbuhan rumpun berbatang
semu. Di
daerah Jawa Barat temulawak disebut sebagai koneng gede
sedangkan
di Madura disebut sebagai temu lobak. Kawasan Indo-Malaysia
merupakan
tempat dari mana temulawak ini menyebar ke seluruh dunia. Saat
ini
tanaman ini selain di Asia Tenggara dapat ditemui pula di Cina, IndoCina,
Bardabos,
India, Jepang, Korea, di Amerika Serikat dan Beberapa negara
Eropa.
2.
URAIAN TANAMAN
2.1 Klasifikasi
Divisi :
Spermatophyta
Sub
divisi : Angiospermae
Kelas :
Monocotyledonae
Ordo :
Zingiberales
Keluarga
: Zingiberaceae
Genus :
Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorrhiza ROXB.
2.2
Deskripsi
Tanaman
terna berbatang semu dengan tinggi hingga lebih dari 1m tetapi
kurang
dari 2m, berwarna hijau atau coklat gelap. Akar rimpang terbentuk
dengan
sempurna dan bercabang kuat, berwarna hijau gelap. Tiap batang
mempunyai
daun 2 – 9 helai dengan bentuk bundar memanjang sampai
bangun
lanset, warna daun hijau atau coklat keunguan terang sampai gelap,
panjang
daun 31 – 84cm dan lebar 10 – 18cm, panjang tangkai daun
termasuk
helaian 43 – 80cm. Perbungaan lateral, tangkai ramping dan sisik
berbentuk
garis, panjang tangkai 9 – 23cm dan lebar 4 – 6cm, berdaun
pelindung
banyak yang panjangnya melebihi atau sebanding dengan mahkota
bunga.
Kelopak bunga berwarna putih berbulu, panjang 8 – 13mm, mahkota
bunga
berbentuk tabung dengan panjang keseluruhan 4.5cm, helaian bunga
berbentuk
bundar memanjang berwarna putih dengan ujung yang berwarna
merah
dadu atau merah, panjang 1.25 – 2cm dan lebar 1cm
3.
MANFAAT TANAMAN
Di
Indonesia satu-satunya bagian yang dimanfaatkan adalah rimpang
temulawak
untuk dibuat jamu godog. Rimpang ini mengandung 48-59,64 %
zat
tepung, 1,6-2,2 % kurkumin dan 1,48-1,63 % minyak asiri dan dipercaya
dapat
meningkatkan kerja ginjal serta anti inflamasi. Manfaat lain dari
rimpang
tanaman ini adalah sebagai obat jerawat, meningkatkan nafsu
makan,
anti kolesterol, anti inflamasi, anemia, anti oksidan, pencegah kanker,
dan anti
mikroba.
4.
SENTRA PENANAMAN
Tanaman
ini ditanam secara konvensional dalam skala kecil tanpa
memanfaatkan
teknik budidaya yang standard, karena itu sulit menentukan
dimana
sentra penanaman temulawak di Indonesia. Hampir di setiap daerah
pedesaan
terutama di dataran sedang dan tinggi, dapat ditemukan temulawak
terutama
di lahan yang teduh.
5.
SYARAT PERTUMBUHAN
5.1.
Iklim
1)
Secara alami temulawak tumbuh dengan baik di lahan-lahan yang teduh
dan
terlindung dari teriknya sinar matahari. Di habitat alami rumpun
tanaman
ini tumbuh subur di bawah naungan pohon bambu atau jati.
Namun
demikian temulawak juga dapat dengan mudah ditemukan di
tempat
yang terik seperti tanah tegalan. Secara umum tanaman ini
memiliki
daya adaptasi yang tinggi terhadap berbagai cuaca di daerah
beriklim
tropis.
2) Suhu
udara yang baik untuk budidaya tanaman ini antara 19-30 oC
3)
Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan antara 1.000-4.000
mm/tahun.
5.2.
Media Tanam
Perakaran
temulawak dapat beradaptasi dengan baik pada berbagai jenis
tanah
baik tanah berkapur, berpasir, agak berpasir maupun tanah-tanah berat
yang
berliat. Namun demikian untuk memproduksi rimpang yang optimal
diperlukan
tanah yang subur, gembur dan berdrainase baik. Dengan demikian
pemupukan
anorganik dan organik diperlukan untuk memberi unsur hara
yang
cukup dan menjaga struktur tanah agar tetap gembur. Tanah yang
mengandung
bahan organik diperlukan untuk menjaga agar tanah tidak
mudah
tergenang air.
5.3.
Ketinggian Tempat
Temulawak
dapat tumbuh pada ketinggian tempat 5-1.000 m/dpl dengan
ketinggian
tempat optimum adalah 750 m/dpl. Kandungan pati tertinggi di
dalam
rimpang diperoleh pada tanaman yang ditanam pada ketinggian 240
m/dpl.
Temulawak yang ditanam di dataran tinggi menghasilkan rimpang
yang
hanya mengandung sedikit minyak atsiri. Tanaman ini lebih cocok
dikembangkan
di dataran sedang.
6.
PEDOMAN BUDIDAYA
6.1.
Pembibitan
Perbanyakan
tanaman temulawak dilakukan menggunakan rimpangrimpangnya
baik
berupa rimpang induk (rimpang utama) maupun rimpang
anakan
(rimpang cabang). Keperluan rimpang induk adalah 1.500-2.000
kg/ha
dan rimpang cabang sebanyak 500-700 kg/ha.
1)
Persyaratan Bibit
Rimpang
untuk bibit diambil dari tanaman tua yang sehat berumur 10 -12
bulan.
2)
Penyiapan Bibit
Tanaman
induk dibongkar dan bersihkan akar dan tanah yang menempel
pada
rimpang. Pisahkan rimpang induk dari rimpang anak.
a. Bibit
rimpang induk
Rimpang
induk dibelah menjadi empat bagian yang mengandung 2-3
mata
tunas dan dijemur selama 3-4 jam selama 4-6 hari berturut-turut.
Setelah
itu rimpang dapat langsung ditanam.
b. Bibit
rimpang anak
Simpan
rimpang anak yang baru diambil di tempat lembab dan gelap
selama
1-2 bulan sampai keluar tunas baru. Penyiapan bibit dapat pula
dilakukan
dengan menimbun rimpang di dalam tanah pada tempat
teduh,
meyiraminya dengan air bersih setiap pagi/sore hari sampai
keluar
tunas. Rimpang yang telah bertunas segera dipotong-potong
menjadi
potongan yang memiliki 2-3 mata tunas yang siap ditanam.
Bibit
yang berasal dari rimpang induk lebih baik daripada rimpang anakan.
Sebaiknya
bibit disiapkan sesaat sebelum tanam agar mutu bibit tidak
berkurang
akibat penyimpanan.
6.2.
Pengolahan Media Tanam
1)
Persiapan Lahan
Lokasi
penanaman dapat berupa lahan tegalan, perkebunan atau
pekarangan.
Penyiapan lahan untuk kebun temulawak sebaiknya dilakukan
30 hari
sebelum tanam.
2)
Pembukaan Lahan
Lahan
dibersihkan dari tanaman-tanaman lain dan gulma yang dapat
mengganggu
pertumbuhan kunyit. Lahan dicangkul sedalam 30 cm
sampai
tanah menjadi gembur.
3)
Pembentukan Bedengan
Lahan
dibuat bedengan selebar 120-200 cm, tinggi 30 cm dan jarak antar
bedengan
30-40 cm. Selain dalam bentuk bedengan, lahan dapat juga
dibentuk
menjadi petakan-petakan agak luas yang dikelilingi parit
pemasukkan
dan pembuangan air, khususnya jika temulawak akan
ditanam
di musim hujan.
4)
Pemupukan Organik (sebelum tanam)
Pupuk
kandang matang dimasukkan ke dalam lubang tanam sebanyak 1-2
kg.
Keperluan pupuk kandang untuk satu hektar kebun adalah 20-25 ton
karena
pada satu hektar lahan terdapat 20.000-25.000 tanaman.
6.3.
Teknik Penanaman
1)
Penentuan Pola Tanaman
Penanaman
dilakukan secara monokultur dan lebih baik dilakukan pada
awal
musim hujan kecuali pada daerah yang memiliki pengairan sepanjang
waktu.
Fase awal pertumbuhan adalah saat dimana tanaman memerlukan
banyak
air.
2)
Pembutan Lubang Tanam
Lubang
tanam dibuat di atas bedengan/petakan dengan ukuran lubang 30
x 30 cm
dengan kedalaman 60 cm. Jarak antara lubang adalah 60 x 60
cm.
3) Cara
Penanaman
Satu
bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam dengan posisi mata tunas
menghadap
ke atas. Setelah itu bibit ditimbun dengan tanah sedalam 10
cm.
4)
Perioda Tanam
Masa
tanam temulawak yaitu pada awal musim hujan untuk masa panen
musim
kemarau mendatang. Penanaman pada di awal musim hujan ini
memungkinkan
untuk suplai air yang cukup bagi tanaman muda yang
memang
sangat membutuhkan air di awal pertumbuhannya.
6.4.
Pemeliharaan Tanaman
1)
Penyulaman
Tanaman
yang rusak/mati diganti oleh bibit yang sehat yang merupakan
bibit
cadangan.
2)
Penyiangan
Penyiangan
rumput liar dilakukan pagi/sore hari yang tumbuh di atas
bedengan
atau petak bertujuan untuk menghindari persaingan makanan
dan air.
Peyiangan pertama dan kedua dilakukan pada dua dan empat
bulan
setelah tanam (bersamaan dengan pemupukan). Selanjutnya
penyiangan
dapat dilakukan segera setelah rumput liar tumbuh. Untuk
mencegah
kerusakan akar, rumput liar disiangi dengan bantuan
kored/cangkul
dengan hati-hati.
3)
Pembubunan
Kegiatan
pembubunan perlu dilakukan pada pertanaman rimpangrimpangan
untuk
memberikan media tumbuh rimpang yang cukup baik.
Pembubunan
dilakukan dengan menimbun kembali area perakaran dengan
tanah
yang jatuh terbawa air. Pembubunan dilakukan secara rutin setelah
dilakukan
penyiangan.
4)
Pemupukan
a.
Pemupukan Organik
Pada
pertanian organic yang tidak menggunakan bahan kimia
termasuk
pupuk buatan dan obat-obatan, maka pemupukan secara
organic
yaitu dengan menggunakan pupuk kompos organic atau pupuk
kandang
dilakukan lebih sering disbanding kalau kita menggunakan
pupuk
buatan. Adapun pemberian pupuk kompos organic ini dilakukan
pada
awal pertanaman pada saat pembuatan guludan sebagai pupuk
dasar
sebanyak 60 – 80 ton per hektar yang ditebar dan dicampur
tanah
olahan. Untuk menghemat pemakaian pupuk kompos dapat juga
dilakukan
dengan jalan mengisi tiap-tiap lobang tanam di awal
pertanaman
sebanyak 0.5 – 1kg per tanaman. Pupuk sisipan
selanjutnya
dilakukan pada umur 2 – 3 bulan, 4 – 6 bulan, dan 8 – 10
bulan.
Adapun dosis pupuk sisipan sebanyak 2 – 3 kg per tanaman.
Pemberian
pupuk kompos ini biasanya dilakukan setelah kegiatan
penyiangan
dan bersamaan dengan kegiatan pembubunan.
b.
Pemupukan Konvensional
§ Pemupukan Awal
Pupuk
dasar yang diberikan saat tanam adalah SP-36 sebanyak 100
kg/ha
yang disebar di dalam larikan sedalam 5 cm di antara barisan
tanaman
atau dimasukkan ke dalam lubang sedalam 5 cm pada
jarak 10
cm dari bibit yang baru ditanam. Larikan atau lubang
pupuk
kemudian ditutup dengan tanah. Sesaat setelah pemupukan
tanaman
langsung disiram untuk mencegah kekeringan tunas.
§ Pemupukan Susulan
Pada
waktu berumur dua bulan, tanaman dipupuk dengan pupuk
kandang
sebanyak 0,5 kg/tanaman (10-12,5 ton/ha), 95 kg/ha urea
dan 85
kg/ha KCl. Pupuk diberikan kembali pada waktu umur
tanaman
mencapai empat bulan berupa urea dan KCl dengan dosis
masing-masing
40 kg/ha. Pupuk diberikan dengan cara disebarkan
merata
di dalam larikan pada jarak 20 cm dari pangkal batang
tanaman
lalu ditutup dengan tanah.
5)
Pengairan dan Penyiraman
Pengairan
dilakukan secara rutin pada pagi/sore hari ketika tanaman
masih berada
pada masa pertumbuhan awal. Pengairan selanjutnya
ditentukan
oleh kondisi tanah dan iklim. Biasanya penyiraman akan lebih
banyak
dilakukan pada musim kemarau. Untuk menjaga pertumbuhan
tetap
baik, tanah tidak boleh berada dalam keadaan kering.
6) Waktu
Penyemprotan Pestisida
Penyemprotan
pestisida dilakukan jika telah timbul gejala serangan hama
penyakit.
7)
Pemulsaan
Sedapat
mungkin pemulsaan dengan jerami dilakukan diawal tanam untuk
menghindari
kekeringan tanah, kerusakan struktur tanah (menjadi tidak
gembur/padat)
dan mencegah tumbuhnya gulma secara berlebihan.
Jerami
dihamparkan merata menutupi permukaan tanah di antara lubang
tanaman.
7. HAMA
DAN PENYAKIT
7.1.
Hama
Hama
temulawak adalah:
1) Ulat
jengkal (Chrysodeixis chalcites Esp.),
2) Ulat
tanah (Agrotis ypsilon Hufn.) dan
3) Lalat
rimpang (Mimegrala coerulenfrons Macquart).
Pengendalian:
penyemprotan
insektisida Kiltop 500 EC atau Dimilin 25 WP dengan
konsentrasi
0.1-0.2 %.
7.2.
Penyakit
1) Jamur
Fusarium
Penyebab:
F.
oxysporum Schlecht dan Phytium sp. serta bakteri Pseudomonas sp.
Berpotensi
untuk menyerang perakaran dan rimpang temulawak baik di
kebun
atau setelah panen.
Gejala:
Fusarium
menyebabakan busuk akar rimpang dengan gejala daum
menguning,
layu, pucuk mengering dan tanaman mati. Akar rimpang
menjadi
keriput dan berwarna kehitam-hitaman dan bagian tengahnya
membusuk.
Jamur Phytium menyebabkan daun menguning, pangkal
batang
dan rimpang busuk, berubah warna menjadi coklat dan akhirnya
keseluruhan
tanaman menjadi busuk.
Pengendalian:
melakukan
pergiliran tanaman yaitu setelah panen tidak menanam
tanaman
yang berasal dari keluarga Zingiberaceae. Fungisida yang dapat
dipakai
adalah Dimazeb 80 WP atau Dithane M-45 80 WP dengan
konsentrasi
0.1 - 0.2 %.
2)
Penyakit layu
Penyebab:
Pseudomonas
sp.
Gejala:
kelayuan
daun bagian bawah yang diawali menguningnya daun, pangkal
batang
basah dan rimpang yang dipotong mengeluarkan lendir seperti
getah.
Pengendalian:
dengan
pergiliran tanaman dan penyemprotan Agrimycin 15/1.5 WP atau
grept 20
WP dengan konsentrasi 0.1 -0.2%.
7.3.
Gulma
Gulma
potensial pada pertanaman temu lawak adalah gulma kebun antara
lain
adalah rumput teki, alang-alang, ageratum, dan gulma berdaun lebar
lainnya.
7.4.
Pengendalian hama/penyakit secara organik
Dalam
pertanian organik yang tidak menggunakan bahan-bahan kimia
berbahaya
melainkan dengan bahan-bahan yang ramah lingkungan biasanya
dilakukan
secara terpadu sejak awal pertanaman untuk menghindari serangan
hama dan
penyakit tersebut yang dikenal dengan PHT (Pengendalian Hama
Terpadu)
yang komponennya adalah sbb:
1)
Mengusahakan pertumbuhan tanaman yang sehat yaitu memilih bibit
unggul
yang sehat bebas dari hama dan penyakit serta tahan terhadap
serangan
hama dari sejak awal pertanaman
2)
Memanfaatkan semaksimal mungkin musuh-musuh alami
3)
Menggunakan varietas-varietas unggul yang tahan terhadap serangan
hama dan
penyakit.
4)
Menggunakan pengendalian fisik/mekanik yaitu dengan tenaga manusia.
5)
Menggunakan teknik-teknik budidaya yang baik misalnya budidaya
tumpang
sari dengan pemilihan tanaman yang saling menunjang, serta
rotasi
tanaman pada setiap masa tanamnya untuk memutuskan siklus
penyebaran
hama dan penyakit potensial.
6)
Penggunaan pestisida, insektisida, herbisida alami yang ramah lingkungan
dan
tidak menimbulkan residu toksik baik pada bahan tanaman yang
dipanen
ma maupun pada tanah. Disamping itu penggunaan bahan ini
hanya
dalam keadaan darurat berdasarkan aras kerusakan ekonomi yang
diperoleh
dari hasil pengamatan.
Beberapa
tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pestisida nabati dan
digunakan
dalam pengendalian hama antara lain adalah:
1)
Tembakau (Nicotiana tabacum) yang mengandung nikotin untuk
insektisida
kontak sebagai fumigan atau racun perut. Aplikasi untuk
serangga
kecil misalnya Aphids.
2)
Piretrum (Chrysanthemum cinerariaefolium) yang mengandung piretrin
yang
dapat digunakan sebagai insektisida sistemik yang menyerang urat
syaraf
pusat yang aplikasinya dengan semprotan. Aplikasi pada serangga
seperti
lalat rumah, nyamuk, kutu, hama gudang, dan lalat buah.
3) Tuba
(Derris elliptica dan Derris malaccensis) yang mengandung rotenone
untuk
insektisida kontak yang diformulasikan dalam bentuk hembusan dan
semprotan.
4) Neem
tree atau mimba (Azadirachta indica) yang mengandung
azadirachtin
yang bekerjanya cukup selektif. Aplikasi racun ini terutama
pada
serangga penghisap seperti wereng dan serangga pengunyah seperti
hama
penggulung daun (Cnaphalocrocis medinalis). Bahan ini juga efektif
untuk
menanggulangi serangan virus RSV, GSV dan Tungro.
5)
Bengkuang (Pachyrrhizus erosus) yang bijinya mengandung rotenoid yaitu
pakhirizida
yang dapat digunakan sebagai insektisida dan larvasida.
6)
Jeringau (Acorus calamus) yang rimpangnya mengandung komponen
utama
asaron dan biasanya digunakan untuk racun serangga dan
pembasmi
cendawan, serta hama gudang Callosobrocus.
8. PANEN
8.1.
Ciri dan Umur Panen
Rimpang
dipanen dari tanaman yang telah berumur 9-10 bulan. Tanaman
yang
siap panen memiliki daun-daun dan bagian tanaman yang telah
menguning
dan mengering, memiliki rimpang besar dan berwarna kuning
kecoklatan.
8.2.
Cara Panen
Tanah
disekitar rumpun digali dan rumpun diangkat bersama akar dan
rimpangnya.
8.3.
Periode Panen
Panen
dilakukan pada akhir masa pertumbuhan tanaman yaitu pada musim
kemarau.
Saat panen biasanya ditandai dengan mengeringnya bagian atas
tanah.
Namun demikian apabila tidak sempat dipanen pada musim kemarau
tahun
pertama ini sebaiknya dilakukan pada musim kemarau tahun
berikutnya.
Pemanenan pada musim hujan menyebabkan rusaknya rimpang
dan
menurunkan kualitas rimpang sehubungan dengan rendahnya bahan aktif
karena
lebih banyak kadar airnya.
8.4.
Perkiraan Hasil Panen
Tanaman
yang sehat dan terpelihara menghasilkan rimpang segar sebanyak
10-20
ton/hektar.
9.
PASCAPANEN
9.1.
Penyortiran Basah dan Pencucian
Sortasi
pada bahan segar dilakukan untuk memisahkan rimpang dari kotoran
berupa
tanah, sisa tanaman, dan gulma. Setelah selesai, timbang jumlah
bahan
hasil penyortiran dan tempatkan dalam wadah plastik untuk pencucian.
Pencucian
dilakukan dengan air bersih, jika perlu disemprot dengan air
bertekanan
tinggi. Amati air bilasannya dan jika masih terlihat kotor lakukan
pembilasan
sekali atau dua kali lagi. Hindari pencucian yang terlalu lama agar
kualitas
dan senyawa aktif yang terkandung didalam tidak larut dalam air.
Pemakaian
air sungai harus dihindari karena dikhawatirkan telah tercemar
kotoran
dan banyak mengandung bakteri/penyakit. Setelah pencucian selesai,
tiriskan
dalam tray/wadah yang belubang-lubang agar sisa air cucian yang
tertinggal
dapat dipisahkan, setelah itu tempatkan dalam wadah
plastik/ember.
9.2.
Perajangan
Jika
perlu proses perajangan, lakukan dengan pisau stainless steel dan alasi
bahan
yang akan dirajang dengan talenan. Perajangan rimpang dilakukan
melintang
dengan ketebalan kira-kira 5 mm – 7 mm. Setelah perajangan,
timbang
hasilnya dan taruh dalam wadah plastik/ember. Perajangan dapat
dilakukan
secara manual atau dengan mesin pemotong.
9.3.
Pengeringan
Pengeringan
dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dengan sinar matahari
atau
alat pemanas/oven. pengeringan rimpang dilakukan selama 3 - 5 hari,
atau
setelah kadar airnya dibawah 8%. pengeringan dengan sinar matahari
dilakukan
diatas tikar atau rangka pengering, pastikan rimpang tidak saling
menumpuk.
Selama pengeringan harus dibolak-balik kira-kira setiap 4 jam
sekali
agar pengeringan merata. Lindungi rimpang tersebut dari air, udara
yang
lembab dan dari bahan-bahan disekitarnya yang bisa mengkontaminasi.
Pengeringan
di dalam oven dilakukan pada suhu 50oC - 60oC.
Rimpang yang
akan
dikeringkan ditaruh di atas tray oven dan pastikan bahwa rimpang tidak
saling
menumpuk. Setelah pengeringan, timbang jumlah rimpang yang
dihasilkan
9.4.
Penyortiran Kering.
Selanjutnya
lakukan sortasi kering pada bahan yang telah dikeringkan dengan
cara
memisahkan bahan-bahan dari benda-benda asing seperti kerikil, tanah
atau
kotoran-kotoran lain. Timbang jumlah rimpang hasil penyortiran ini
(untuk
menghitung rendemennya).
9.5.
Pengemasan
Setelah
bersih, rimpang yang kering dikumpulkan dalam wadah kantong
plastik
atau karung yang bersih dan kedap udara (belum pernah dipakai
sebelumnya).
Berikan label yang jelas pada wadah tersebut, yang
menjelaskan
nama bahan, bagian dari tanaman bahan itu, nomor/kode
produksi,
nama/alamat penghasil, berat bersih dan metode penyimpanannya.
9.6.
Penyimpanan
Kondisi
gudang harus dijaga agar tidak lembab dan suhu tidak melebihi 30oC
dan
gudang harus memiliki ventilasi baik dan lancar, tidak bocor, terhindar
dari
kontaminasi bahan lain yang menurunkan kualitas bahan yang
bersangkutan,
memiliki penerangan yang cukup (hindari dari sinar matahari
langsung),
serta bersih dan terbebas dari hama gudang.
10.ANALISIS
EKONOMI BUDIDAYA TANAMAN
10.1.
Analisis Usaha Budidaya
Perkiraan
analisis budidaya kunyit seluas 1000 m2 yang dilakukan pada tahun
2000 di
daerah Sumedang Jawa Barat.
1) Biaya
produksi
a. Sewa
lahan 1 musim tanam Rp. 100.000,-
b. Bibit
250 kg @ Rp. 700,- Rp. 175.000,-
c. Pupuk
d. Pupuk
kandang 1.000 kg @ Rp. 100,- Rp. 100.000,-
- Pupuk
buatan: Urea 13.5 kg @ Rp. 1.200,- Rp. 16.200,-
- SP-36
10 kg @ Rp. 1700,- Rp. 17.000,-
- KCl
12.5 kg @ Rp. 1700,- Rp. 21.250,-
e.
Pestisida Rp. 7.000,-
f. Alat
Rp. 20.000,-
g.
Tenaga kerja Rp. 112.000,-
h. Panen
dan pasca panen Rp. 42.000,-
i.
Lain-lain (Pajak 15%) Rp. 91.567,-
Jumlah
biaya produksi Rp. 702.017,-
2)
Pendapatan 2.000 kg @ Rp. 500,- Rp.1.000.000,-
3)
Keuntungan Rp. 297.983,-
4)
Parameter kelayakan usaha
a. Rasio
output/input = 1,42
10.2.
Gambaran Peluang Agribisnis
Temulawak
merupakan tanaman obat yang secara alami sangat mudah
tumbuh
di Indonesia dan telah lama digunakan sebagai bahan pembuatan
jamu.
Setiap produsen jamu baik skala kecil atau skala industri selalu
memasukkan
temulawak ke dalam racikan jamunya. Rimpang temulawak
yang
dikeringkan juga sudah merupakan komoditi perdagangan antar negara.
Indonesia
dengan dukungan kondisi iklim dan tanahnya dapat menjadi
produsen
dan sekaligus pengekspor utama rimpang temu lawak dengan
syarat
produks dan kualitas rimpang yang dihasilkan memenuhi syarat.
Kuantitas
dan kualitas ini dapat ditingkatkan dengan mengubah pola tanam
temulawak
dari tradisional ke “modern” yang mengikuti tata laksana
penanaman
yang sudah teruji. Selama periode 1985-1989 Indonesia
mengekspor
temulawak sebanyak 36.602 kg senilai US $ 21.157,2 setiap
tahun.
Negara pengekspor lainnya adalah Cina, Indo Cina dan Bardabos.
Untuk
dapat meningkatkan ekspor temulawak diperlukan sosialisasi tanaman
temulawak
kepada masyarakat petani dan sekaligus memasyarakatkan cara
budidaya
temu lawak yang benar dalam skala yang lebih besar.
11.STANDAR
PRODUKSI
11.1.
Ruang Lingkup
Standar
produksi meliputi: jenis dan standar mutu, cara pengambilan contoh
dan
syarat pengemasan.
11.2.
Deskripsi
…
11.3.
Klasifikasi dan Standar Mutu
Standard
mutu temulawak untuk pasaran luar negeri dicantumkan berikut ini:
1) Warna
: kuning-jingga sampai coklat kuning-jingga
2) Aroma
: khas wangi aromatis
3) Rasa
: mirip rempah dan agak pahit
4) Kadar
air maksimum : 12 %
5) Kadar
abu : 3-7 %
6) Kadar
pasir (kotoran) : 1 %
7) Kadar
minyak atsiri (minimal) : 5 %
11.4.
Pengambilan Contoh
Dari
jumlah kemasan dalam satu partai temulawak siap ekspor diambil
sejumlah
kemasan secara acak seperti dibawah ini, dengan maksimum berat
tiap
partai 20 ton.
1) Untuk
jumlah kemasan dalam partai 1–100, contoh yang diambil 5.
2) Untuk
jumlah kemasan dalam partai 101–300, contoh yang diambil 7
3) Untuk
jumlah kemasan dalam partai 301–500, contoh yang diambil 9
4) Untuk
jumlah kemasan dalam partai 501-1000, contoh yang diambil 10
5) Untuk
jumlah kemasan dalam partai di atas 1000, contoh yang diambil
minimum
15
Kemasan yang
telah diambil, dituangkan isinya, kemudian diambil secara acak
sebanyak
10 rimpang dari tiap kemasan sebagai contoh. Khusus untuk
kemasan
temulawak berat 20 kg atau kurang, maka contoh yang diambil
sebanyak
5 rimpang. Contoh yang telah diambil kemudian diuji untuk
ditentukan
mutunya. Petugas pengambil contoh harus memenuhi syarat yaitu
orang
yang telah berpengalaman atau dilatih terlebih dahulu dan mempunyai
ikatan
dengan suatu badan hukum.
11.5.
Pengemasan
Irisan
temulawak kering dikemas dalam kardus karton yang dilapisi plastik
dengan
kapasitas 20 kg. Dibagian luar dari tiap kemasan ditulis, dengan
bahan
yang tidak luntur, jelas terbaca antara lain:
§ Produk asal Indonesia
§ Nama/kode perusahaan/eksportir
§ Nama barang
§ Negara tujuan
§ Berat kotor
§ Berat bersih
§ Nama pembeli
12.DAFTAR
PUSTAKA
1)
Anonimous. 1994. Hasil Penelitian Dalam Rangka Pemanfaatan Pestisida
Nabati.
Prosiding Seminar di Bogor 1 – 2 Desember 1993. Balai Penelitian
Tanaman
Rempah dan Obat. Bogor .
311 Hal.
2)
Anonimous. 1989. Vademekum Bahan Obat Alam. Departemen Kesehatan
Republik
Indonesia .
Jakarta . 411
Hal.
3)
Anonimous. 2001. Profil Tanaman Obat di Kabupaten Sumedang.
Pemerintah
Kabupaten Sumedang. Dinas Kehutanan dan Perkebunan. Hal.
37.
4)
Rahmat Rukmana, Ir. 1995. Temulawak: Tanaman rempah dan obat.
Penerbit
Kanisius. Yogyakarta
5)
Sardiantho. 1997. Empat Tanaman Obat untuk Asam Urat. Trubus No. 331
Jakarta,
Februari 2000 Sumber: Sistim Informasi Manajemen
Pembangunan
di Perdesaan, BAPPENAS Editor : Kemal Prihatman
KEMBALI
KE MENU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar