( Metroxylon sp. )
1. SEJARAH SINGKAT
Sagu diduga berasal dari Maluku dan Irian. Hingga saat ini belum
ada data yang
pasti yang mengungkapkan kapan awal mula sagu ini dikenal. Di
wilayah Indonesia
Bagian Timur, sagu sejak lama dipergunakan sebagai makanan pokok
oleh sebagian
penduduknya, terutama di Maluku dan Irian Jaya. Teknologi
eksploitasi, budidaya
dan pengolahan sagu yang paling maju saat ini adalah di Malaysia.
Tanaman sagu dikenal dengan nama Kirai
di Jawa Barat, bulung, kresula, bulu,
rembulung, atau resula di Jawa Tengah; lapia atau napia di Ambon; tumba di
Gorontalo; Pogalu atau tabaro di Toraja; rambiam atau rabi di kepulauan Aru.
2. JENIS TANAMAN
Klasifikasi tanaman sagu:
Ordo : Spadiciflorae
Famili : Palmae
Di kawasan Indo Pasifik terdapat 5 marga (genus) Palmae yang zat
tepungnya telah
dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Arenga, Corypha,
Euqeissona, dan Caryota.
Genus
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 2/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga, karena kandungan
acinya
cukup tinggi.
Sagu dari genus Metroxylon, secara garis besar digolongkan menjadi
dua, yaitu:
yang berbunga/berbuah dua kali (Pleonanthic) dan berbunga/berbuah
sekali
(Hapaxanthic) yang mempunyai nilai ekonomis penting, karena
kandungan
karbohidratnya lebih banyak. Golongan ini terdiri dari 5 varietas
penting, yaitu:
a) Metroxylon sagus, Rottbol atau sagu Molat.
b) Metroxylon rumphii, Martius atau sagu Tuni.
c) Metroxylon rumphii, Martius varietas Sylvestre Martius atau sagu Ihur.
d) Metroxylon rumphii, Martius varietas Longispinum Martius atau sagu Makanaru.
e) Metroxylon rumphii, Martius varietas Microcanthum Martius atau sagu Rotan.
Dari kelima varietas tersebut, yang memiliki arti ekonomis penting
adalah Ihur, Tuni,
dan Molat.
3. MANFAAT TANAMAN
a) Pelepahnya dipakai sebagai dinding atau pagar rumah.
b) Daunnya untuk atap.
c) Kulit atau batangnya merupakan kayu bakar yang bagus.
d) Aci sagu (bubuk yang dihasilkan dengan cara mengekstraksi pati
dari umbi atau
empulur batang) dapat diolah menjadi berbagai makanan.
e) Sebagai makanan ternak.
f) Serat sagu dapat dibuat hardboard atau bricket bangunan bila
dicampur semen.
g) Dapat dijadikan perekat (lem) untuk kayu lapis.
h) Apabila rantai glukosa dalam pati dipotong menjadi 3-5 rantai
glukosa (modifief
starch) dapat dipakai untuk menguatkan daya
adhesive dari proses pewarnaan
kain pada industri tekstil.
i) Dapat diolah menjadi bahan bakar metanol-bensin.
4. SENTRA PENANAMAN
Sentra penanaman sagu di dunia adalah Indonesia dan Papua Nugini,
yang
diperkirakan luasan budi daya penanamannya mencapai luas 114.000
ha dan 20.000
ha. Sedangkan luas penanaman sagu sebagai tanaman liar untuk kedua
negara
tersebut diperkirakan mencapai 2.000.000 ha. Adapun sentra
penanaman tanaman
sagu di Indonesia adalah Irian Jaya, Maluku, Riau, Sulawesi Tengah
dan
Kalimantan.
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 3/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
5. SYARAT PERTUMBUHAN
5.1. Iklim
a) Jumlah curah hujan yang optimal bagi pertumbuhan sagu antara
2000-4000
mm/tahun, yang tersebar merata sepanjang tahun.
b) Sagu dapat tumbuh baik di daerah 10 derajat LS – 15 derajat LU
dan 90 – 180
derajat BT, yang menerima energi cahaya matahari sepanjang tahun.
c) Sagu dapat ditanam di daerah dengan kelembaban nisbi udara 40
prosen.
Kelembaban yang optimal untuk pertumbuhannya adalah 60 prosen.
d) Suhu yang optimal bagi pertumbuhan sagu adalah rata-rata 24-30
derajat C.
5.2. Media Tanam
a) Sagu tumbuh di daerah rawa yang berair tawar atau daerah rawa
yang bergambut
dan di daerah sepanjang aliran sungai, sekitar sumber air, atau di
hutan rawa
yang kadar garamnya tidak terlalu tinggi. Tanah mineral di
rawa-rawa air tawar
dengan kandungan tanah liat > 70 prosen dan bahan organik 30
prosen.
b) Pertumbuhan sagu yang paling baik adalah pada tanah liat kuning
coklat atau
hitam dengan kadar bahan organis tinggi. Sagu dapat tumbuh pada
tanah
vulkanik, latosol, andosol, podsolik merah kuning, alluvial,
hidromorfik kelabu dan
tipe-tipe tanah lainnya.
c) Sagu mampu tumbuh pada lahan yang memiliki keasaman tinggi.
Pertumbuhan
yang paling baik terjadi pada tanah yang kadar bahan organisnya
tinggi dan
bereaksi sedikit asam pH =5,5-6,5.
d) Sagu paling baik bila ditanam pada tanah yang mempunyai
pengaruh pasang
surut, terutama bila air pasang tersebut merupakan air segar.
Lingkungan yang
paling baik untuk pertumbuhannya adalah daerah yang berlumpur,
dimana akar
nafas tidak terendam. Pertumbuhan sagu juga dipengaruhi oleh
adanya unsur
hara yang disuplai dari air tawar, terutama potasium, fosfat,
kalsium, dan
magnesium.
5.3. Ketinggian Tempat
Sagu dapat tumbuh di daerah dataran rendah sampai dengan
ketinggian 700 m dpl.
Ketinggian tempat yang optimal adalah 400 m dpl.
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 4/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
6. PEDOMAN BUDIDAYA
6.1. Pembibitan
1) Persyaratan Benih/Bibit
Syarat bibit untuk pembibitan cara generatif: biji yang digunakan
sudah tua, tidak
cacat fisik, besarnya rata-rata dan bertunas.
Syarat bibit untuk pembibitan cara vegetatif: berasal dari tunas
atau anakan yang
umurnya kurang dari 1 tahun, dengan diameter 10-13 cm dan berat
2-3 kg. Tinggi
anakan ±1 meter dan punya pucuk daun 3-4
lembar.
2) Penyiapan Benih/Bibit
a) Cara generatif
Biji yang digunakan berasal dari buah yang sudah tua dan
jatuh/rontok dari pohon
induk yang baik, yaitu subur dan produksinya tinggi, tumbuh pada
lahan yang wajar
serta produksi klon rata-rata tinggi. Biji/buah yang diambil
tersebut adalah buah yang
tidak cacat fisik, besarnya rata-rata, dan bernas.
b) Cara vegetatif
Pembiakan secara vegetatif dapat dilakukan dengan menggunakan
bibit berupa
anakan yang melekat pada pangkal batang induknya yang disebut
dangkel atau abut
(jangan yang berasal dari stolon). Adapun cara pengadaan dangkel
adalah:
1. Pengambilan dangkel dipilih yang terletak di permukaan atas.
2. Pemotongan dilakukan di sisi kiri dan kanan sedalam 30 cm,
tanpa membuang
akar serabutnya.
3. Dangkel yang telah dipotong, dibersihkan dari daun-daun dan
ditempatkan
pada tempat yang mendapat cahaya matahari langsung dengan bagian
permukaan
belahan tepat pada tempat di mana cahaya matahari jatuh, selama 1
jam.
4. Luka bekas irisan dangkel yang masih tertanam segera dilumuri
dengan zat
penutup luka (seperti: TB-1982 atau Acid Free Coalteer) untuk
mencegah hama dan
penyakit.
5. Bibit sagu direndam dalam air aerobik selama 3-4 minggu.
Setelah itu bibit
ditanam.
6. Penyiapan dangkel sebaiknya dilakukan pada waktu menjelang sore
hari,
kemudian pada sore hari dangkel dikumpulkan dan pada waktu malam
hari dangkel
diangkut ke lahan, untuk menghindari kerusakan dangkel oleh cahaya
matahari.
3) Teknik Penyemaian Benih
a) Cara generatif:
1. Perkecambahan tak langsung:
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 5/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
- Penyiapan media: Wadah/bak dari bata/bambu berukuran tinggi
30-40 cm,
panjang tidak lebih dari 2 meter dan lebar 1,2-1,5 cm. Selanjutnya
sepertiga bagian
bawah diisi pasir dan atasnya serbuk gergaji basah.
- Penataan bibit: Bibit ditata dengan jarak 10x10 cm; 10x15 cm;
atau 15x15 cm
dengan posisi miring/tegak, bagian lembaga diletakkan di bawah, ¾
bagian bibit
ditekan dalam serbuk gergaji. Kelembaban media dijaga antara 80-90
%. Setelah
umur 1-2 bulan dan sudah berdaun 2-3 lembar, bibit dipindah ke
bedeng pembibitan.
2. Pembibitan (Perkecambahan tak langsung di media pembibitan):
- Penyiapan media: Tanah diolah sedalam 45-60 cm, digemburkan dan
ditambah
pupuk dasar. Ukuran bedeng tinggi 30 cm; lebar 1,25 m; dan panjang
±
8-10 dengan
jarak antar bedengan 30-50 cm.
- Pengaturan pembibitan tanpa penjarangan: Bibit ditanam dengan
jarak 25x25
cm sampai dengan 40x40 cm.
- Pengaturan pembibitan dengan penjarangan: Pada mulanya bibit
ditanam
dengan jarak rapat, yaitu 12,5x12,5 cm; 15x15 cm; atau 20x20 cm.
4) Pemeliharaan Penyemaian
Cara generatif dengan penjarangan:
a) Dilakukan setelah satu bulan, yaitu menjadi 25x25 cm; 30x30 cm;
atau 40x40
cm.
b) Selama masa penyemaian kelembaban dipertahankan 80-90%.
c) Diberi naungan agar tidak kena cahaya matahari langsung.
d) Penyiraman dilakukan setiap saat.
5) Pemindahan Bibit
a) Cara generatif:
Bibit yang berumur 6-12 bulan dapat dipindahkan atau ditanam. Cara
pengangkatannya ke kebun atau tempat penanaman mudah dan murah.
b) Cara vegetatif:
Setelah diambil dapat langsung ditanam.
6.2. Pengolahan Media Tanam
1) Persiapan
a) Lahan dipilih yang sesuai dengan ketentuan.
b) Menurut kebiasaan petani sagu Riau dan Maluku, penanaman sagu
dilakukan
pada awal musim hujan.
2) Pembukaan Lahan
a) Lahan dibersihkan dari semua vegetasi di bawah diameter 30 cm
dekat
permukaan tanah dan semua pohon yang tinggal.
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 6/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
b) Vegetasi bawah dan ranting-ranting kecil tersebut dibakar dan
abunya untuk
pupuk.
c) Pokok-pokok batang yang besar, yang sulit penggaliannya dapat
ditinggalkan
begitu saja di lahan, kecuali pokok-pokok yang berada pada calon
baris tanaman
harus dibersihkan.
3) Pembentukan Bedengan
Dilakukan untuk penanaman dengan cara blok (biasanya dilakukan
perusahaan
perkebunan sagu). Adapun tata cara pembangunan blok adalah:
a) Ukuran blok 400x400 m, jadi satu blok luasnya 16 ha. Biasanya
di tengahtengah
blok dibangun kanal tersier.
b) Kanal yang harus dibangun ada 3 macam, yaitu: kanal utama,
kanal sekunder,
dan kanal tersier.
c) Kanal utama adalah kanal yang digali tegak lurus terhadap
sungai, dibangun di
setiap dua blok kebun sagu, jaraknya dari kanal utama satu dengan
yang lain adalah
800 m. Fungsinya sebagai pengaliran air dari sungai ke dalam
blok-blok sagu, dan
sebagai jalur transportasi utama dari kebun ke sungai dan
sebaliknya, serta untuk
penyanggah pengaruh air pasang. Kanal utama ini lebarnya 2,5 m.
d) Kanal sekunder adalah kanal yang digali tegak lurus terhadap
kanal utama
(melintang pada blok dan kanal utama). Kanal ini berfungsi sebagai
pembatas antara
empat blok sagu di sebelahnya; sebagai jalur transportasi sagu
dari kebun dan atau
kanal tersier ke kanal utama. Lebar kanal sekunder adalah 2 m.
e) Kanal tersier adalah kanal yang digali pada pertengahan blok
atau di antara
dua blok atau melintangi di antara blok-blok yang saling
berseberangan. Fungsinya :
drainase per blok; batas antar blok yang saling berseberangan dan
sebagai jalur
transportasi dari kebun sagu bagian dalam, ke sungai atau kanal
utama, atau ke
kanal sekunder atau juga ke kanal tersier melintang dan
sebaliknya. Lebar kanal
tersier adalah 1,5 m.
f) Saluran drainase lebarnya 0,75-1,00 m.
4) Lain-lain
a) Menentukan sistem dan alat transportasi, karena lahan penanaman
sagu
didominasi oleh lahan yang berupa rawa dan lahan pantai yang
sering dipengaruhi
pasang surut.
b) Lahan sebagian merupakan daerah berair, maka infrastruktur
harus terdiri atas
sistem kanal sebagai pengganti jalan darat.
6.3. Teknik Penanaman
1) Penentuan Pola Tanam
a) Penanaman dengan sistem blok: Jarak tanam/jarak lubang antar
bervariasi
antara 8-10 meter, sehingga satu hektar hanya menampung ± 150 buah.
b) Jarak tanam yang dianggap ideal adalah:
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 7/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
1. Sagu Tuni 8x8 m atau 9x9 m, hubungan segitiga sama sisi,
sehingga 1 hektar
akan memuat 143 tanaman.
2. Sagu Ihur 9x9 m, hubungan segitiga sama sisi, sehingga 1 hektar
akan memuat
143 tanaman.
3. Sagu Molat 7x7 m, hubungan segi empat, sehingga 1 hektar akan
memuat
2043 tanaman.
4. Jika ketiga varietas ditanam secara bersama-sama, maka ditanam
secara
terpisah menurut blok.
2) Pembuatan Lubang Tanam
a) Lubang tanam digali sebulan/selambat-lambatnya 1 minggu sebelum
penanaman dengan ukuran lubang 30x30x30 cm.
b) Hasil galian tanah bagian atas dipisahkan dari tanah lapisan
bawah dan
dibiarkan beberapa hari.
c) Pada lubang tanaman itu ditempatkan pancang-pancang bambu, tiap
lubang 2
pacang.
3) Cara Penanaman
a) Membenamkan dangkel ke dalam lubang tanaman.
b) Bagian pangkal dangkel ditutup dengan tanah remah bercampur
gambut.
Tanah penutup jangan ditekan tapi dangkel jangan sampai bergerak.
c) Tanah lapisan atas dimasukkan sampai separuh lubang apabila
mungkin
dicampur puing-puing.
d) Akar-akar dibenamkan pada tanah penutup lubang dan pangkalnya
agak
ditekan sedikit ke dalam tanah.
6.4. Pemeliharaan Tanaman
1) Penjarangan dan Penyulaman
a) Dapat dilakukan setiap waktu, agar tidak terjadi kekosongan
dalam areal.
Kesulitan penyulaman sering terjadi bila lahan kekurangan air
sebab akan gagal.
b) Penyulaman menggunakan bibit cadangan yang sudah ditanam di
lahan
bersamaan dengan waktu tanam, pada salah satu ujung barisan
tanaman atau
dangkel.
c) Penyulaman dapat dilakukan sampai umur 3 tahun. Lebih dari 3
tahun hasilnya
kurang baik, sebab sulaman sudah akan dilindungi oleh canopy sagu
yang sudah
mulai meluas, sehingga kesulitan untuk mendapatkan cahaya
matahari.
d) Penjarangan idealnya dilakukan sekali dalam setahun.
e) Jumlah pohon yang disisakan tergantung dari jenis dan spesies
sagu dan
tingkat pertumbuhan.
f) Jumlah tegakan(jumlah pohon dalam satu rumpun) yang ideal
adalah sebagai
berikut:
1. Ihur: semai=3; sapihan=2-3; tiang=1-2; pohon=1; jumlah=7-9
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 8/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
2. Tuni: semai=3-4; sapihan=2-3; tiang=1-2; pohon=1-2; jumlah=7-11
3. Molat: semai=1-2; sapihan=1; tiang=1; pohon=1; jumlah=4-5
Catatan:
Semai: anakan sagu kecil dengan batang bebas daun 0-0,5 m
Sapihan: anakan sagu kecil dengan batang bebas daun 0,5-1,5 m.
Tiang: anakan sagu kecil dengan batang bebas daun 1,5-5 m.
Pohon: anakan sagu kecil dengan batang bebas daun >5 m.
2) Penyiangan
a) Penyiangan dilakukan terhadap gulma dan dilakukan pada sagu
muda (3-5
tahun), sebab rawan terhadap serangan hama. Gulma juga akan
memperbesar
peluang kebun dilanda kebakaran.
b) Penyiangan dapat menggunakan tangan, sabit, parang, cangkul dan
sebagainya.
c) Hasilnya dipendam/dikomposkan. Bila gulma mengandung
hama/vektor dan
kayu, dibakar dan abunya dijadikan pupuk.
3) Pemupukan
a) Unsur hara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman sagu,
yaitu Kalsium,
Kalium dan Magnesium.
b) Macam dan dosis pupuk:
1. Umur 0: Urea=0; PA=300; TSP=0; KCl=0; KIES=0
2. Umur 1: Urea=100; PA=0; TSP=100; KCl=50; KIES=0
3. Umur 2: Urea=150; PA=0; TSP=150; KCl=100; KIES=0
4. Umur 3: Urea=200; PA=0; TSP=200; KCl=150; KIES=30
5. Umur 4: Urea=250; PA=250; TSP=0; KCl=250; KIES=40
6. Umur 5: Urea=300; PA=0; TSP=300; KCl=250; KIES=50
7. Umur 6: Urea=400; PA=400; TSP=0; KCl=400; KIES=80
8. Umur 7: Urea=500; PA=0; TSP=500; KCl=500; KIES=100
9. Umur 8: Urea=500; PA=500; TSP=0; KCl=600; KIES=120
10. Umur = 9: Urea=500; PA=0; TSP=500; KCl=700;
KIES=140
Keterangan: PA = Phosphat Alam ; KIES = Kieserite (mg)
c) Cara pemupukan:
1. Dibenamkan dalam tanah, agar tidak terbawa air sebelum
terabsorbsi oleh akar
tanaman, terutama lahan yang berada di daerah rawa/dataran rendah
dan pasang
surut yang sering terjadi luapan air.
2. Pemupukan dapat dilaksanakan secara lingkaran di sekeliling
rumpun atau
secara lokal di dau sisi rumpun pada jarak sejauh pertengahan
antara ujung tajuk
dengan pohon/rumpun sagu.
d) Waktu pemupukan:
1. Untuk sagu muda sampai 1 tahun menjelang panen, pemupukan
dilakukan 1-2
kali setahun.
2. Pemupukan sekali setahun, dilakukan pada awal musim hujan.
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 9/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
3. Pemupukan dua kali setahun, dilakukan pada awal dan akhir musim
hujan,
masing-masing dengan 1/2 dosis.
7. HAMA DAN PENYAKIT
7.1. Hama
a) Kumbang (Oryctes rhinoceros sp.)
Ciri: Tubuhnya berbulu pendek dan sangat
rapat pada bagian ekornya.
Kepompong berwarna kuning dengan ukuran yang lebih kecil daripada
lundi,
terbungkus dalam bahan yang terbuat dari tanah. Kumbang dewasa
berwarna
merah sawo, berukuran 3-5 cm. Imago (kumbang dewasa) meninggalkan
rumah
kepompongnya pada malam hari dan terbang ke pohon sagu. Gejala: terdapat
lubang pada pucuk daun bekas gerekan kumbang, setelah berkembang
tampak
terpotong seperti digunting dalam bentuk segitiga. Bila titik
tumbuhnya rusak, sagu
tidak mampu membentuk daun lagi dan akhirnya mati. Pengendalian mekanis:
pohon-pohon sagu yang mendapat serangan ditebang dan dibakar,
sedangkan
pucuknya dibelah-belah, kemudian diberi Aldrin 40% WP yang dipakai
sebagai
perangkap. Penebangan pohon menggunakan gergaji mekanis atau
kapak. Bila
menyerang sagu muda, maka Oryctes dapat dimatikan dengan kawat
runcing
yang ditusukkan ke Oryctes pada lubang gerekan sampai tembus
badannya dan
ditarik keluar. Pengendalian: pada pucuk pohon diberi Heptachlor 10 gram,
Diazinon 10 gram, dan BHC. Sedang cara biologis adalah dengan
Oryctes dapat
diserang oleh cendawan (Meterrhizium anisopliae) yang sifatnya sebagai parasit
pada stadium larva, tetapi daya bunuhnya terlalu rendah.
b) Kumbang sagu (Rhynchophorus sp)
Terdapat beberapa jenis, yaitu: (1) Rhynchophorus ferrugineus, Oliv (kumbang
sagu); (2) Rhynchophorus ferrugineus, Oliv varietas Schach, F dan (3)
Rhynchophorus ferrugineus, Oliv varietas
Papuanus, Kirsch. Perbedaannya
terletak pada bentuk, ukuran dan rupa kumbang dewasa. Ciri serangan sekunder
setelah kumbang Oryctes biasanya meletakkan telur di luka bekas
Oryctes. Bila
serangan terjadi pada titik tumbuh dapat menyebabkan kematian
pohon.
Pengendalian: sama dengan kumbang Oryctes.
c) Ulat daun Artona (Artona catoxantha, Hamps. atau Brachartona catoxantha)
Ciri: (1) kupu-kupu Artona catoxantha, Hamps. berukuran panjang 10-15 mm,
dengan jarak sayap 13-16 mm, sayapnya berwarna hitam merah
kecoklatan. Pada
punggung depan, bagian perut dan pinggir sayap depannya bersisik
kuning. Kupukupu
Artona bergerak aktif siang hari dan malam hari; (2) Ulat Artona
berwarna
putih kuning berukuran sampai 11 mm. Pada pungungnya terdapat
garis lebar
berwarna kemerah-merahan. Bagian depan badannya lebih besar
dibanding
bagian balakang. Stadium ulat ini berlangsung selama 17-22 hari.
Pada stadium
inilah kerusakan tanaman sagu terjadi, yaitu dengan menggerek anak
daun sagu.
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 10/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
Gejala: (1) tingkat serangan titik adalah
ulat/larva yang baru menetas masuk
dalam jaringan daun dan memakan daging anak daun, bekas serangan
ini dari
bawah tampak sebagai bintik-bintik kecil yang tidak tembus; (2)
tingkat serangan
garis adalah ulat Artona yang lebih besar menyusup lebih meluas,
sehingga bekas
serangga tampak seperti garis-garis; (3) tingkat serangan pinggir
adalah yang
menggerek daun sagu adalah ulat Artona yang lebih besar/tua,
berpindah tempat
ke bagian pinggir dan memakan bagian anak daun pinggir; (4)
tingkat serangan
akhir adalah pada tingkatan ini daun-daun menjadi sobek-sobek.
Daun yang
paling disenangi adalah daun tua. Daun bekas serangan seperti
terbakar.
Pengendalian mekanis: daun-daun yang diserang Artona
dipangkasi, serangan
Artona yang berat akan mengakibatkan pelepah daun tinggal memliki
2/3 daun
saja. Waktu pemangkasan daun-daun yang diserang Artona adalah
bilamana
dalam 200-300 daun sagu yang diambil secara acak, mengandung lima
atau lebih
stadium hidup Artona (telur, larva, kepompong, atau kupu-kupu).
Pemangkasan
harus sudah dilakukan dua minggu sesudah Artona memiliki panjang 8
mm,
sehingga banyak Artona yang gagal menjadi kupu-kupu. Pengendalian biologis:
menggunakan parasit, antara lain: (1) taburkan (Apanteles artonae) yang biasanya
menyerang ulat Artona pada instar kedua; (2) Lalat Ptychomyia remota atau
Caudurcia leefmansii yang menyerang ulat Artona pada
instar berikutnya.
Pengendalian kimiawi: menggunakan bahan kimia Arcotine
D-25 - EC, dengan
dosis 4 kg/ha.
d) Babi hutan
Binatang ini merusak sagu tingkat semai dan sapihan (umur 1-3
tahun), memakan
umbut (pucuk batang yang masih muda). Pengendalian: memburu dan
membunuhnya agar populasi terkendali, sehingga kerusakan yang
ditimbulkan
berkurang. Selain itu dengan umpan yang diberi racun fosfor
sebanyak 2-5 gram.
e) Kera (Macaca irus)
Kera yang hanya terdapat di daerah pegunungan dengan 1500 m dpl,
merusak
bagian sagu muda, yaitu umbutnya. Binatang ini mempunyai kebiasaan
selalu
merusak lebih banyak daripada yang dibutuhkan. Pengendalian: sama dengan
pengendalian babi hutan.
7.2. Penyakit
a) Bercak kering
Penyebab: cendawan Cercospora. Gejala: daun berbercak-bercak coklat dan
dapat mengakibatkan seluruh daun berbercak-bercak kering atau
berlubanglubang.
Bila serangan cukup hebat, kanopi tanaman sagu nampak meranggas.
Pengendalian: belum ada secara khusus, hanya
pemakaian fungisida dan
sanitasi lingkungan.
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 11/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
7.3. Gulma
Pengendalian gulma dapat diperjarang atau dihentikan sama sekali
bila sagu sudah
berumur lima tahun ke atas. Pengendalian secara mekanis adalah
gulma dibersihkan
dan dimatikan dengan sabit, parang, cangkul, dan sebagainya. Gulma
hasil
penyiangan dijadikan pupuk kompos. Sedangkan secara kimiawi adalah
dengan cara
penyemprotan herbisida yang dilakukan secara teratur, misalnya 2-4
minggu sekali,
disesuaikan dengan kondisi gulmanya. Herbisida yang dianjurkan
adalah herbisida
kontak, seperti PARACOL.
Pengendalian secara kultur teknis dilakukan jika lahan tidak
diganggu banjir dan
kondisi tanah tidak terlalu basah. Caranya dengan menanam tanaman
penutup
tanah leguminosa (Leguminosa Ground Cover=LCG). Dengan penanaman
LCG,
maka akan diperoleh manfaat ganda, yaitu pertumbuhan gulma dapat
ditekan
semaksimal mungkin dan tanah mendapat perbaikan kondisi kimiawi,
biologis, dan
fisis. LCG yang dapat digunakan adalah: Calopogonium sp.; Centrocema sp.; Vigna
husei.
8. PANEN
8.1. Ciri dan Umur Panen
Panen dapat dilakukan mulai umur 6-7 tahun, atau bila ujung batang
mulai
membengkak disusul keluarnya selubung bunga dan pelepah daun
berwarna putih
terutama pada bagian luarnya. Tinggi pohon 10-15 m, diameter 60-70
cm, tebal kulit
luar 10 cm, dan tebal batang yang mengandung sagu 50-60 cm. Ciri
pohon sagu
siap panen pada umumnya dapat dilihat dari perubahan yang terjadi
pada daun, duri,
pucuk dan batang.
Cara penentuan pohon sagu yang siap panen di Maluku:
a) Tingkat Wela/putus duri, yaitu suatu fase di mana sebagian duri
pada pelepah
daun telah lenyap. Kematangannya belum sempurna dan kandungan
acinya
masih rendah, tetapi dalam keadaaan terpaksa pohon ini dapat
dipanen.
b) Tingkat Maputih, ditandai dengan menguningnya pelepah daun,
duri yang terdapat
pada pelepah daun hampir seluruhnya lenyap, kecuali pada bagian pangkal
pelepah masih tertinggal sedikit. Daun muda yang terbentuk
ukurannya semakin
pendek dan kecil. Pada tingkat ini sagu jenis Metroxylon rumphii Martius sudah
siap dipanen, karena kandungan acinya sangat tinggi.
c) Tingkat Maputih masa/masa jantung, yaitu fase di mana semua
pelepah daun
telah menguning dan kuncup bunga mulai muncul. Kandungan acinya
telah padat
mulai dari pangkal batang sampai ujung batang merupakan fase yang
tepat untuk
panen sagu Ihur (Metroxylon sylvester Martius).
d) Tingkat Siri buah, merupakan tingkat kematangan terakhir, di
mana kuncup bunga
sagu telah mekar dan bercabang menyerupai tanduk rusa dan buahnya
mulai
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 12/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
terbentuk. Fase ini merupakan saat yang paling tepat untuk memanen
sagu jenis
Metroxylon longispium Martius.
Ciri-ciri pohon yang sagu yang siap dipanen menurut masyarakat
Irian Jaya adalah:
a) Pelepah daun menjadi lebih pendek.
b) Kuncup bunga mulai tampak dan pucuk pohon mendatar bila
dibandingkan
dengan pohon sagu yang lebih muda.
c) Batang sagu dilubangi kira-kira 1 m di atas tanah, kemudian
diambil empulurnya
dan dikunyah serta diperas. Apabila air perasannya keruh berarti
kandungan
acinya sudah cukup dan pohon siap dipanen.
8.2. Cara Panen
a) Dilakukan pembersihan untuk membuat jalan masuk ke rumpun dan
pembersihan
batang yang akan dipotong untuk memudahkan penebangan dan
pengangkutan
hasil tebangan.
b) Sagu dipotong sedekat mungkin dengan akarnya. Pemotongan
menggunakan
kampak/mesin pemotong (gergaji mesin).
c) Batang dibersihkan dari pelepah dan sebagian ujung batangnya
karena acinya
rendah, sehingga tinggal gelondongan batang sagu sepanjang 6-15
meter.
Gelondongan dipotong-potong menjadi 1-2 meter untuk memudahkan
pengangkutan. Berat 1 gelondongan adalah ± 120 kg dengan diameter 45 cm dan
tebal kulit 3,1 cm.
8.3. Periode Panen
Pemanenan kedua dilakukan dengan jangka waktu ± 2 tahun.
8.4. Prakiraan Produksi
Perkiraan hasil yang paling mendekati kenyataan pada kondisi liar
dengan produksi
40-60 batang/ha/tahun dengan jumlah empulur 1 ton/batang, dengan
kandungan aci
sagu 18,5 prosen, dapat diperkirakan hasil per hektar per tahun
adalah 7-11 ton aci
sagu kering. Secara teoritis, dari satu batang pohon sagu dapat
dihasilkan 100-600
kg aci sagu kering. Rendemen total untuk pengolahan yang ideal
adalah 15 prosen.
9. PASCAPANEN
9.1. Pengumpulan
a) Gelondongan yang telah dipotong dapat langsung dibawa ke
parit/sumber air
terdekat, kemudian langsung ditokok/diekstraksi.
b) Atau gelondongan dialirkan lewat kanal lalu dihalau/dihanyutkan
menuju tempat
pengolahan.
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 13/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
c) Sagu-sagu yang dihanyutkan ditangkap dengan jala-jala yang
diletakkan pada
sebuah ban pengangkut barang.
d) Ban tersebut akan membawa gelondongan ke pabrik.
e) Kalau ada jalan darat yang memadai, pengangkutan menggunakan
truk atau
gerobak.
9.2. Pengambilan Aci Sagu
a) Cara Maluku:
1. Potongan pohon sagu dibelah dua.
2. Belahan pohon sagu ditokok dengan suatu alat yang disebut
"nani". Caranya
empulur ditetak-tetak sedikit demi sedikit dari salah satu ujung
sampai ke
pangkalnya. Empulur dijaga jangan sampai kering.
3. Hasil tokokan empulur yang disebut "ela",
dikumpulkan, kemudian disaring.
4. Di tempat penyaringan, ela disiram dengan air bersih, maka aci
akan keluar
bersamaan dengan air siraman, selanjutnya disaring dalam
"goti".
5. Air siraman ela yang diperoleh, diendapkan. Hasil endapan
dipisahkan dari air
yang sudah mulai jernih, sehingga diperoleh aci sagu basah.
6. Aci sagu dimasukkan dalam "tumang" atau
"tappiri" (suatu wadah dari batang
sagu), untuk disimpan atau diproses lebih lanjut.
b) Cara Fabrikasi:
Semua pabrik pengambil empulur mengguankan pemarut silinder yang
disambungkan pada motor, sedangkan di Serawak digunakan pemarut
Cakera
(dari Jerman) yang besar. Setelah diperoleh “ela”, lalu diproses
menjadi zat
tepung seperti pengambilan pati yang dilakukan pabrik tapioka
biasa, yaitu
dengan menggunakan sistem pemisah zat tepung dari ampas secara
sentrifugal.
Kapasitas produksi pabrik tersebut berkisar antara 1-10
pokok/hari.
9.3. Pemutihan Aci Sagu
a) Dibuat larutan kaporit 3 prosen, caranya 300 gram kaorit
dilarutkan dalam 10 liter
air bersih.
b) Aci sagu dimasukkan dalam larutan kaporit dengan perbandingan 1
bagian tepung
2 bagian larutan kaporit.
c) Larutan diaduk sampai homogen, kira-kira selama 1 menit,
kemudian diendapkan
dan didiamkan selama 1/2 jam.
d) Cairan bening yang terdapat pada bagian atas tepung dikeluarkan
dan ditampung
pada ember lain, cairan ini masih dapat digunakan untuk mencuci
2-3 kali lagi.
e) Netralkan aci sagu tersebut dengan memasukkan air bersih dalam
aci lalu diaduk
sampai rata kira-kira selama 1 menit.
f) Sebelum larutan aci dalam ember tenang, larutan itu segera
disaring lalu
diendapkan. Cairan bagian atas dibuang kemudian ditambah air lagi,
diaduk,
diendapkan, cairan bening dibuang. Pekerjaan ini diulang 3-4 kali
sampai bau
kaporit hilang.
g) Aci sagu yang sudah tampak putih dan tidak berbau kaporit
segera dikeringkan
pada para-para yang dialasi plastik, sampai kering.
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 14/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
10. ANALISIS EKONOMI BUDIDAYA TANAMAN
10.1.Analisis Usaha Budidaya
…
10.2.Gambaran Peluang Agribisnis
Pada pertengahan tahun 1989 didirikan industri pengolahan sagu
oleh PT. Sagindo
Sari Lestari di Arandai, Bintuni, Manokwari, Irian Jaya dengan
kapasitas produksi
berkisar antara 36-150 ribu ton/tahun
Propek pasar sagu sebenarnya cukup baik. Permintaan terus
meningkat baik untuk
kebutuhan ekspor maupun domestik. Secara nasional permintaan
diperkirakan
mencapai ±300.000 ton, sedangkan produksi hanya
48.822 ton pada tahun 1988 dan
70.000 ton pada tahun 1989. Permintaan pasar baik luar maupun
dalam negeri terus
meningkat. Pasar ekspor yang potensial adalah Jepang, Kanada,
Amerika Serikat,
Inggris, Thailand dan Singapura. Permintaan dalam negeri
meningkat, karena
perkembangan industri makanan, farmasi, maupun industri lainnya.
11. STANDAR PRODUKSI
11.1.Ruang Lingkup
Standar produksi meliputi: klasifikasi, syarat mutu, cara
pengambilan contoh, cara uji,
syarat penandaan dan cara pengemasan.
11.2.Diskripsi
Standar mutu tepung sagu di Indonesia tercantum dalam Standar
Nasional Indonesia
SNI 01-3729-1995.
11.3.Klasifikasi dan Standar Mutu
Klasifikasi dan standar mutu tepung sagu adalah sebagai berikut:
a) Keadaan
1. Bau: normal
2. Warna: normal
3. Rasa: normal
b) Benda asing: tidak boleh ada
c) Serangga (bentuk stadia dan potongannya): tidak boleh ada
d) Jenis pati selain pati sagu : tidak boleh ada
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 15/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
e) Air (%) : maksimum 13
f) Abu (%): maksimum 0,5
g) Serat kasar (%): maksimum 0,1
h) Derajat asam (Ml NaOH 1N/100 gram): maksimum 4
i) SO2 (Mg/kg):
maksimum 30
j) Bahan tambahan makanan (bahan pemutih): sesuai SNI 01-0222-1995
k) Kehalusan,lolos ayakan 100 mesh (%):minimum 95
l) Cemaran logam
1. Timbal (Pb) Mg/kg: maksimum 1,0
2. Tembaga (Cu)Mg/kg: maksimum 10,0
3. Seng (Zn)Mg/kg: maksimum 40,0
4. Raksa (Hg)Mg/kg: maksimum 0,05
m)Cemaran arsen (As)Mg/kg: maksimum 0,5
n) Cemaran mikroba
1. Angka lempengan total koloni/gram: maksimum 106
2. E. Coli APM/gram: maksimum 10
3. Kapang koloni: maksimum 104
Untuk mendapatkan mutu sagu yang sesuai dengan standar maka harus
dilakukan
bebrapa pengujian mutu, yaitu:
a) Cara uji serangga: timbang lebih kurang 25 gram contoh kemudian
tekan sampai
ketebalan 2-5 mm dengan menggunakan 2 lempeng kaca. Setelah itu
diamkan
selama 24 jam dan amati permukaan kaca dengan menggunakan kaca
pembesar,
apakah ada jejak-jejak bekas ulat. Larva, kepompong atau serangga
dan
potongan-potongannya dengan mengayak contoh, sedang telurnya
dilihat
mikroskop.
b) Cara uji jenis pati selain pati sagu (granula pati sagu):
taburkan sedikit contoh
pada kaca obyek tambahkan sedikit air, kemudian ratakan, tutup
dengan kaca
penutup dan amati dengan kaca mikroskop pada pembesaran tertentu.
Bandingkan bentuk granula pati contoh dengan standar bentuk
granula pati sagu.
Adanya pati selain pati sagu menandakan tepung sagu tersebut
dicampur dengan
tepung lainnya.
c) Sedangkan cara uji dengan benda asing, air, SO2, abu, serat kasar dan
kehalusan sesuai dengan cara uji makanan dan minuman SNI
01-289-1992; cara
uji derajat asam SNI 01-3555-1992; cara uji minyak dan lemak; cara
uji cemaran
logam dirinci, cemaran logam, cemaran logam raksa (Hg) dan cemaran
arsen
sesuai dengan SNI 19-2896-1992; cara uji cemaran logam dan cemaran
mikroba
sesuai dengan SNI 19-2897-1992.
11.4.Pengambilan Contoh
Cara pengambilan contoh sesuai dengan SNI 19-04528-1989, petunjuk
pengambilan contoh.
TTG BUDIDAYA PERTANIAN
Hal. 16/ 16
Kantor Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan
Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Gedung II Lantai 6 BPP Teknologi, Jl. M.H. Thamrin
8 Jakarta 10340
Tlp. 021 316 9166~69, Fax. 021 316 1952,
http://www.ristek.go.id
11.5.Pengemasan
Produk dikemas dalam wadah yang tidak dipengaruhi atau
mempengaruhi isi,
selama penyimpanan dan pengangkutan. Sedangkan penandaan sesuai
dengan
Undang-undang Republik Indonesia nomor 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan.
12. DAFTAR PUSTAKA
a) Anonimous. 1994. Sagu, Komoditi Pertanian yang Dilupakan. Dalam
Kumpulan
Kliping Sagu. Trubus.
b) Anwar, I. 1994. Sagu Tulehu. Dalam Kumpulan Kliping Sagu.
Trubus.
c) Harsanto, 1990. Budidaya dan pengolahan sagu. Kanisius.
Yogyakarta.
d) Haryanto, B. dan Panglali, P. 1992. Potensi dan Pemanfaatan
Sagu. Kanisius.
e) Hiberna, N. 1994. Sagu sebagai Sumber Karbohidrat dan
Pembudidayaannya.
Dalam Kumpulan Kliping Sagu. Trubus.
f) Karyanto dan Soemodipoero, B. 1994. Formula Makanan Bayi Sagu
dan Tepung
g) Rukmana, R. 1994. Cerah, Prospek Budidaya Sagu. Dalam Kumpulan
Kliping
Sagu. Trubus.
h) Sundoro, S. 1994. Sagu Kalsel jadi Lem Kayu Lapis. Dalam
Kumpulan Kliping
Sagu. Trubus.
i) Suparto, T.I. 1994. Hutan Sagu dan Nipah masih merupakan
Potensi Tidur. Dalam
Kumpulan Kliping Sagu. Trubus.
j) Surenggan, S. 1994. Sagu sebagai Sumber Pakan Ternak. Dalam
k) Kumpulan Kliping Sagu. Trubus.Suriawiria, U. 1994. Sagu, Sumber
Pangan yang
Digalakkan. Dalam Kumpulan Kliping Sagu. Trubus.
l) Susanta, J. 1994. Manfaatkan Sagu sebagai Media Tumbuh Jamur.
Dalam
Kumpulan Kliping Sagu. Trubus.
m)Wisastro, S.J. 1994. Sagu Bengkalis. Dalam Kumpulan Kliping
Sagu. Trubus.
Sumber : Sistim Informasi Manajemen Pembangunan di Perdesaan,
Proyek
PEMD, BAPPENAS
Editor : Kemal Prihatman
KEMBALI KE MENU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar