TUGAS
KONSEP PEMBERDAYAAN, PARTISIPASI
DAN
OLEH
H A R T A
KELAS 1 A
JURUSAN
PENYULUHAN PERTANIAN
SEKOLAH
TINGGI PENYULUHAN PERTANIAN(STPP) BOGOR
TAHUN
AKADEMIK 2010/2011
KONSEP PEMBERDAYAAN PARTISIPASI DAN
KELEMBAGAAN
Pendahuluan
Berubahnya
paradigma pembangunan nasional ke arah demokratisasi dan desentralisasi, menumbuhkan kesadaran
yang luas tentang perlunya peran serta masyarakat
dalam keseluruhan proses dan program pembangunan. Pemberdayaan dan partisipasi muncul sebagai dua kata
yang banyak diungkapkan ketika berbicara tentang
pembangunan. Meskipun demikian, pentingnya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat belum sepenuhnya
dihayati dan dilaksanakan oleh stakeholders
pembangunan, baik dari kalangan pemerintah, swasta, LSM, dan masyarakat. Bahkan di kalangan
masyarakat sendiri masih gamang menghadapi praktek
partisipasi dalam melaksanakan setiap tahapan pembangunan di lingkungannya. Di sisi lain, hampir
semua proyek dan program pemerintah mensyaratkan
pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaanya, dimana masyarakat ditempatkan pada
posisi strategis yang menentukan keberhasilan program
pembangunan. Akan tetapi, dalam prakteknya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat sering disalahgunakan, baik
secara sengaja maupun tidak sengaja.
Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan
yang diadaptasikan dari istilah empowerment berkembang di Eropa mulai abad pertengahan, terus
berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan awal
90-an. Konsep pemberdayaan tersebut kemudian mempengaruhi teori-teori yang berkembang belakangan. Berkenaan dengan pemaknaan konsep
pemberdayaan masyarakat, Ife (1995)
menyatakan bahwa : Empowerment is a process of helping
disadvantaged groups and individual to
compete more effectively with other interests, by helping them to learn and
use in lobbying, using the media,
engaging in political action, understanding how to ‘work the system,’ and so on
(Ife, 1995).
Definisi
tersebut di atas mengartikan konsep pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya memberikan otonomi,
wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam suatu organisasi, serta mendorong
mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan
tugasnya sebaik mungkin. Di sisi lain Paul (1987) dalam Prijono dan Pranarka (1996) mengatakan bahwa
pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang
adil sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh
mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil pembangunan.”Sedangkan
konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam hal
ini pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi pengambilan keputusan untuk melindungi
kepentingan rakyat yang berlandaskan pada
sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung. Jika dilihat dari proses
operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan memiliki dua kecenderungan, antara lain : pertama,
kecenderungan primer, yaitu kecenderungan
proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan, atau kemampuan (power)
kepada masyarakat atau individu menjadi lebih berdaya.
Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset material guna mendukung pembangunan kemandirian
mereka melalui organisasi; dan kedua, kecenderungan
sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada proses memberikan stimulasi, mendorong atau
memotivasi individu agar mempunyai kemampuan
atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan
tersebut memberikan (pada titik ekstrem) seolah
berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder
terlebih dahulu (Sumodiningrat, Gunawan,
2002) . Pemberdayaan
masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial.
Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan,
yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable”
(Chambers, 1995). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs)
atau menyediakan mekanisme untuk mencegah
proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya
belakangan ini banyak
dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep
ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi
untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman (1992) disebut sebagai alternative development, yang
menghendaki ‘inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality
and intergenerational equaty”.(Kartasasmita, Ginanjar 1997) Dalam upaya memberdayakan masyarakat
dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu (Sumodiningrat,
Gunawan, 2002) ; pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat
berkembang (enabling). Disini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia,
setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat
dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena jika demikian akan sudah punah.
Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun
daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya
serta berupaya untuk mengembangkannya. Kedua,
memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini
diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana.
Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan
menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities)
yang akan membuat masyarakat menjadi berdaya.
Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, tetapi juga
pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan,
dan kebertanggungjawaban adalah bagian pokok
dari upaya pemberdayaan ini. Demikian pula pembaharuan institusi-institusi sosial dan pengintegrasiannya ke dalam
kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat
di dalamnya. Yang terpenting disini adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan
keputusan yang menyangkut diri dan masyarakatnya.
Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan,
pengamalan demokrasi.Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti
melindungi. Dalam prosespemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi
bertambah lemah, oleh karena kekurangberdayaan
dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan dan pemihakan
kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti
mengisolasi atau menutupi dari interaksi, karena
hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya
untuk mencegah terjadinya persaingan yang tidak
seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah. Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat
menjadi makin tergantung pada berbagai program
pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa yang dinikmati
harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang
hasilnya dapat dipertikarkan dengan pihak lain). Dengan
demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan
diri ke arah kehidupan yang lebih baik
secara berkesinambungan.
Pengertian Pemberdayaan
Pemberdayaan bertujuan untuk
meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah
atau tidak beruntung (Ife, 1995).
Pemberdayaan menunjuk pada usaha
pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan
struktur sosial (Swift dan Levin, 1987).
Pemberdayaan adalah suatu cara dengan
mana rakyat, organisasi, dan komunitas diarahkan
agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport, 1984).
Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan
mana orang menjadi cukup kuat untuk
berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas, dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta
lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya Pemberdayaan menekankan bahwa orang
memperoleh keterampilan,
pengetahuan, dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain
yang menjadi perhatiannya (Parsons, etal., 1994).
Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan
orang, khususnya kelompok rentan dan
lemah, untuk :
·
memiliki akses terhadap sumber-sumber
produktif yang memungkinkan
mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka
perlukan
·
berpartisipasi dalam proses pembangunan dan
keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.
Definisi
pemberdayaan yang dikemukakan para pakar sangat beragam dan kontekstual. Akan tetapi dari berbagai
definisi tersebut, dapat ditarik suatu benang merah
bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memampukan dan memandirikan masyarakat.
Atau dengan kata lain adalah bagaimana menolong masyarakat untuk mampu menolong
dirinya sendiri.
Pendekatan utama
dalam konsep pemberdayaan adalah bahwa masyarakat tidak
dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri.
Berdasarkan konsep demikian, maka pemberdayaan
masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai berikut (Sumodiningrat, Gunawan, 2002) ; pertama,
upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer
disebut pemihakan.Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang dirancang untuk
mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya.
Kedua, program ini harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang
menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang
akan dibantu mempunyai beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendakdan
mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain
itu, sekaligus meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang, melaksanakan,
mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan
diri dan ekonominya. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok, karena secara sendiri-sendiri masyarakat
miskin sulit dapat memecahkan masalahmasalah yang
dihadapinya
. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu
luas jika penanganannya
dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari penggunaan sumber daya
juga lebih efisien.
Indikator Pemberdayaan
Schuler, Hashemi
dan Riley mengembangkan beberapa indikator pemberdayaan, yang mereka sebut sebagai empowerment
index atau indeks pemberdayaan (Girvan, 2004):
Ø
Kebebasan mobilitas: kemampuan individu
untuk pergi ke luar rumah atau wilayah
tempat tinggalnya, seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga. Tingkat
mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu
pergi sendirian
Ø
Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’:
kemampuan individu untuk membeli barang barang kebutuhan keluarga sehari-hari
(beras, minyak tanah, minyak goreng,
bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak, sampo). Individu dianggap mampu
melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat membuat
keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat membeli barang-barang tersebut
dengan menggunakan uangnya sendiri.
Ø
Kemampuan membeli komoditas ‘besar’:
kemampuan individu untuk membeli barang-barang
sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian keluarga. Seperti
halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap
individu yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat
membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan
uangnya sendiri.
Ø
Terlibat dalam pembuatan
keputusan-keputuan rumah tangga: mampu membuat keputusan
secara sendiri mapun bersama suami/istri mengenai keputusan keputusan keluarga,
misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha.
Ø
Kebebasan relatif dari dominasi
keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam
satu tahun terakhir ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah, perhiasan dari
dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai
anak; atau melarang bekerja di luar rumah.
Ø
Kesadaran hukum dan politik: mengetahui
nama salah seorang pegawai pemerintah
desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat; nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat
nikah dan hukum-hukum waris.
Ø
Keterlibatan dalam kampanye dan
protes-protes: seseorang dianggap ‘berdaya’ jika
ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang
memukul istri; istri yang mengabaikan suami
dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan
pegawai pemerintah.
Ø
Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap
keluarga: memiliki rumah, tanah, asset produktif,
tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau
terpisah dari pasangannya
Partisipasi
Partisipasi
merupakan komponen penting dalam pembangkitan kemadirian dan proses pemberdayaan (Craig dan May,
1995 dalam Hikmat, 2004). Lebih lanjut Hikmat
(2004) menjelaskan pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka
meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi budaya.
Proses ini, pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang berpusat pada rakyat.
Partisipasi menurut Hoofsteede (1971)
yang dikutip oleh Khairuddin (2000) berarti
”The taking part in one or more phases of the process” atau mengambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari
suatu proses, dalam hal ini proses pembangunan.
Sedangkan menurut Fithriadi, dkk. (1997) Partisipasi adalah pokok utama dalam pendekatan pembangunan yang
terpusat pada masyarakat dan berkesinambungan
serta merupakan proses interaktif yang berlanjut.Prinsip dalam partisipasi
adalah melibatkan atau peran serta masyarakat secara
langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil bagian, sejak dari awal, proses dan
perumusan hasil. Keterlibatan masyarakat akan menjadi
penjamin bagi suatu proses yang baik dan benar. Dengan demikian, Abe (2005) mengasumsikan bahwa hal ini
menyebabkan masyarakat telah terlatih secara baik.
Tanpa adanya pra kondisi, dalam arti mengembangkan pendidikan politik maka keterlibatan masyarakat secara
langsung tidak akan memberikan banyak arti.
Lebih lanjut Abe (2005) mengemukakan,
melibatkan masyarakat secara langsung
akan membawa dampak penting, yaitu :
Ø Terhindar
dari peluang terjadinya
manipulasi. Keterlibatan masyarakat akan memperjelas apa yang sebenarnya dikehendaki oleh masyarakat
Ø Memberikan
nilai tambah pada legitimasi
rumusan perencanaan karena semakin banyak jumlah mereka yang terlibat akan semakin baik
Ø
Meningkatkan kesadaran dan keterampilan
politik masyarakat.
Pengertian Partisipasi
Banyak definisi
yang dikemukakan para ahli tentang partisipasi. Namun secara harfiah, partisipasi berarti "turut
berperan serta dalam suatu kegiatan”, “keikutsertaan
atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau proaktif dalam suatu kegiatan”.
Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai "bentuk keterlibatan dan
keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik karena alasan-alasan dari dalam dirinya
(intrinsik) maupun dari luar dirinya (ekstrinsik)
dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan" Pada dasarnya pembangunan desa merupakan
tanggung jawab bersama antara pemerintah
dan masyarakat. Dalam hal ini masyarakat menjadi sasaran sekaligus pelaku pembangunan. Keterlibatan
masyarakat pada setiap tahapan pembangunan di desa,
merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Kegagalan berbagai program pembangunan perdesaan di masa
lalu adalah disebabkan antara lain karena penyusunan,
pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan tidak
melibatkan masyarakat. Berbagai hasil penelitian melaporkan
bahwa banyak program pembangunan perdesaan
di masa lalu dinilai tidak berhasil karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan
tidak melibatkan masyarakat. (Siregar, 2001;
Team Work Lapera, 2001; P3P Unram, 2001; Hadi, Hayati dan Hilyana, 2003). Proses pembangunan lebih
mengedepankan paradigma politik sentralistis dan dominannya
peranan negara pada arus utama kehidupan bermasyarakat, sementara keterlibatan masyarakat hanya dalam
tataran wacana dan dalam implementasi hanya menjadi
sekedar pelengkap proses pembangunan. Akibat dari mekanisme pembangunan yang kurang aspiratif dan
tidak partisipatif, membuat proses dan hasil menjadi
parsial dan tidak berkelanjutan. Sebagian besar kegiatan pembangunan merupakan program dari atas (Top down),
sangat berorientasi proyek, dan menonjolkan
ego sektoral.
Tingkatan Partisipasi
o
Menurut Prety, J., 1995, ada tujuh
karakteristik tipologi partisipasi, yang berturutturut semakin dekat kepada bentuk yang ideal,
yaitu :
Ø Partisipasi
pasif atau manipulatif.
Ini merupakan bentuk
partisipasi yang paling
lemah. Karakteristiknya adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi.
Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan
tanggapan masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan
profesional di luar kelompok sasaran belaka.
Ø Partisipasi
informatif.
Di sini masyarakat
hanya menjawab pertanyaanpertanyaan untuk
proyek, namun tidak berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan. Akyurasi
hasil studi, tidak dibahas bersama masyarakat.
Ø Partisipasi
konsultatif.
Masyarakat
berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan
orang luar mendengarkan, serta menganalisis masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada
peluang untuk pembuatan keputusan bersama.
Para profesional tidak berkewajiban untuk mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk
ditindaklanjuti.
Ø Partisipasi
insentif.
Masyarakat memberikan
korbanan dan jasa untuk memperoleh
imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses pembelajaran atau eksperimen-eksperimen
yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki
andil untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan.
Ø Partisipasi
fungsional.
Masyarakat
membentuk kelompok sebagai bagian proyek,
setelah ada keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat tergantung kepada pihak
luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan
kemandiriannya.
Ø Partisipasi
interaktif.
Masyarakat berperan
dalam proses analisis untuk perencanaan
kegiatan dan pembentukan atau penguatan kelembagaan, Pola ini cenderung melibatkan metode
interdisipliner yang mencari keragama perspektif dalanm
proses belajar yang terstruktur dan sistematis. Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan
keputusan-keputusan mereka, sehingga memiliki
andil dalam keseluruhan proses kegiatan.
Ø Mandiri
(self mobilization).
Masyarakat mengambil
inisiatif sendiri secara bebas (tidak
dipengaruhi pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak
dengan lembaga-lembaga lain untuk mendapatkan
bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang diperlukan. Yang terpenting, masyarakat juga
memegang kandali atas pemanfaatan sumberdaya
yang ada dan atau digunakan.
Mengemukanya
tuntutan reformasi politik dan pembangunan, dan munculnya kebijakan desentralisasi pembangunan,
membawa konsekuensi terhadap pentingnya penguatan
peran masyarakat, dan penguatan semangat tata pemerintahan yang baik (Good governance), dimana proses
pembangunan diselenggarakan dengan memperhatikan
prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi
dan keaneka-ragaman daerah. Dalam era demokratisasi
dan otonomi daerah pasca pemerintahan Orde Baru, pentingnya partisipasi masyarakat dalam semua
tahapan proses pembangunan merupakan suatu keniscayaan.
Wacana
pembangunan yang partisipatif di Indonesia sesungguhnya telah dimulai sejak 30 tahun lalu, dimana konsep
pembangunan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat telah dimasukkan dalam GBHN pada dekade 1970-an. Sementara kebijakan yang lebih konkret dimulai
pada dekade 1980-an. Sejak dekade 1990-an, kegiatan
pembangunan daerah dirancang lebih partisipatif melalui lembaga pengambilan keputusan tingkat desa,
kecamatan, kabupaten, propinsi hingga nasional (Siregar,
2001; Chandra et al, 2003). Akan tetapi, menurut Team Work Lapera (2001) pada saat itu partisipasi
masyarakat lebih sebagai jargon pembangunan, dimana
partisipasi lebih diartikan pada bagimana upaya mendukung program pemerintah dan upaya-upaya yang pada
awal dan konsep pelaksanaanya berasal dari pemerintah.
Berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari atas, dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang
tidak bisa ditolak.
Bentuk Partisipasi, Tipe Partisipasi dan
Peran Masyarakat Lokal
Ada enam bentuk partisipasi masyarakat
lokal, yang secara berurutan semakin baik,
yaitu : Bentuk partisipasi Tipe Partisipasi Peran Masyarakat
1.
Co-option Tidak
ada input apapun dari masyarakat local yang
dijadikan bahan Subjek
2.
Co-operation Terdapat
insentif, namun proyek telah didesain
oleh pihak luar yang menentukan seluruh
agenda dan proses secara langsung Employees
atau subordinat
3.
Consultation Opini
masyarakat ditanya, namun pihak luar menganalisis
informasi sekaligus memutuskan bentuk
aksinya sendiri Clients
4.
Collaboration Masyarakat
lokal bekerjasama dengan pihak luar
untuk menentukan prioritas, dan pihak luar
bertanggungjawab langsung kepada proses Collaborators
5.
Co-learning Masyarakat
lokal dan luar saling membagi pengetahuannya,
untuk memperoleh saling pengertian,
dan bekerjasama untuk merencanakan aksi,
sementara pihak luar hanya memfasilitasi Partners
6.
Collectiveaction Masyarakat lokal menyusun dan
melaksanakan agendanya
sendiri, pihak luar absen sama sekali Directors
Sejalan dengan
dikedepankannya prinsip tata pemerintahan yang baik terutama di tingkat Kabupaten/Kota, maka
konsep pembangunan yang partisipatif mulai
digagas dan dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai program pemberdayaan masyarakat dilaksanakan
dengan pendekatan partisipatif dan meliputi semua
sektor, mulai dari pembangunan infrastruktur perdesaan, pengembangan pertanian, desentralisasi pendidikan
dasar, pelayanan kesehatan, perencanaanpembangunan partisipatif, dan
sebagainya.
Konsep pembangunan yang partisipatif
merupakan suatu proses
pemberdayaan pada masyarakat sehingga
masyarakat mampu untuk mengidentifikasi
kebutuhannya sendiri atau kebutuhan
kelompok masyarakat sebagai suatu dasar perencanaan
pembangunan. Oleh karena itu, maka konsep pembangunan partisipatif mengandung tiga unsur penting, yaitu :
1. Peningkatan
peran masyarakat dalamperencanaan, implementasi pembangunan, pemanfaatan hasil
pembangunan, dan evaluasi
proses pembangunan
2. Orientasi
pemahaman masyarakat akan peran tersebut
3.
Peran pemerintah sebagai fasilitator.
Partisipasi
mendorong setiap warga masyarakat untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses
pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Partisipasi masyarakat dapat terwujud
seiring tumbuhnya rasa percaya masyarakat kepada
penyelenggara pemerintahan di daerah. Rasa percaya ini akan tumbuh apabila masyarakat memperoleh pelayanan dan
kesempatan yang setara (equal). Pembedaan perlakuan
atas dasar apapapun dapat menumbuhkan kecemburuan dan mendorong terjadinya konflik sosial di masyarakat.
Melalui pembangunan yang partisipatif,
masyarakat diharapkan dapat :
1.
Mampu secara kritis menilai lingkungan
sosial ekonomi mereka sendiri mengidentifikasi
bidang-bidang yang perlu diperbaiki
2.
(2) Mampu menentukan visi masa depan yang ingin masyarakat
wujudkan
3.
(3) Dapat berperan dalam perencanaan masa depan mereka sendiri dalam
masyarakatnya tanpa menyerahkannya kepada ahli atau
kelompok berkuasa
4.
(4) Dapat menghimpun sumber-sumber daya
di dalam masyarakat dan juga di dalam lingkup
anggotanya untuk merealisasi tujuan bersama
5.
(5) Dapat memperoleh pengalaman dalam
menyatakan, menganalisa situasi dan mengidentifikasi
strategi yang tepat dan realistis untuk suatu kehidupan yang baik,
6.
(6) Karenanya anggota masyarakat menjadi
tokoh individual yang dapat bekerja atas dasar
persamaan
7.
(7) Desa dan masyarakat akan
menyelesaikan tugas dan proyek swadaya,
karena masyarakat tidak tergantung pada bantuan dari luar, yang juga akan menjadi dasar menuju kemandirian
8.
(8) Dalam proses ini akan dibangun hubungan yang erat dan integratif
diantara anggota masyarakat (P3P Unram, 2001).
Kelembagaan dan Kelompok
Kelembagaan
Pengertian lembaga sampai saat ini masih
menjadi bahan perdebatan yang sengit
di kalangan ilmuan sosial. Terdapat kebelumsepahaman tentang arti “kelembagaan” di kalangan ahli. Dalam
literatur, istilah “kelembagaan” (social institution)
disandingkan
atau disilangkan dengan “organisasi” (social organization). Bahkan lebih jauh Uphoff (1986),
memberikan gambaran yang jelas tentang keambiguan
antara lembaga dan organisasi : “What
contstitutes an ‘institution’ is a subject of continuing debate among social scientist….. The term
institution and organixation are commonly used interchangeably and this
contributes to ambiguityand confusion” (Norman Uphoff, 1986). Sementara itu, Koentjaraningrat (1997)
mengemukakan bahwa belum terdapat
istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana sosiologi untuk menterjemahkan istilah
Inggris ‘social institution’. Ada yang menterjemahkannya
dengan istilah ‘pranata’ ada pula yang ‘bangunan sosial’ (Koentjaraningrat, 1997). Istilah lembaga dan organisasi secara
umum penggunaannya dapat dipertukarkan
dan hal tersebut menyebabkan keambiguan dan kebingungan diantara keduanya. Pembedaan antara lembaga dan
organisasi masih sangat kabur. Organisasi yang
telah mendapatkan kedudukan khusus dan legitimasi dari masyarakat karena keberhasilannya memenuhi kebutuhan dan
harapan masyarakat dalam waktu yang panjang
dapat dikatakan bahwa organisasi tersebut telah “melembaga”. Namun demikian, menurut para ahli setidaknya
ada empat cara membedakan kelembagaan dengan
organisasi, yaitu (Syahyuti, 2006) :
Kelembagaan
adalah tradisional, organisasi modern.
1.
Kelembagaan dari masyarakat itu sendiri,
organisasi datang dari atas.
2.
Kelembagaan dan organisasi berada dalam
satu kontinuum.
3.
Organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga (lihat
Norman Uphoff). Yang sempurna adalah
organisasi yang melembaga.
4.
Organisasi merupakan bagian dari
kelembagaan. Organisasi sebagai organ kelembagaan.
Komponen Kelembagaan
1.
Person (=orang).
Orang-orang yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan jelas.
2.
Kepentingan.
Orang-orang tersebut sedang diikat oleh satu kepentingan/tujuan, sehingga mereka terpaksa harus saling berinteraksi.
3.
Aturan.
Setiap kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara bersama, sehingga
seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain
dalam lembaga tersebut.
4.
Struktur.
Setiap orang memiliki posisi dan peran, yang harus dijalankannya secara benar. Orang tidak bisa
merubah-rubah posisinya dengan kemauan sendiri.
Inti dari kelembagaan adalah interaksi.
Untuk mempelajari kelembagaan adalah
dengan memperhatikan interaksi yang terjadi : Apakah interaksi tersebut berbentuk formal ataukah nonformal ?
Apakah berpola horizontal atau vertikal ? Apakah
berbasiskan ekonomi atau bukan (biasanya disebut ”sosial”) ? Apakah hanya sesaat atau berlangsung lama ? Apakah
merupakan hal yang biasa atau hal baru ? Apakah
berpola atau acak ? Apakah karena perintah atau bukan ?. Dari interaksi yang terjadi dalam kelembagaan, maka ada
sepuluh prinsip dalam pengembangan kelembagaan
seperti di bawah ini :
Prinsip Pengembangan Kelembagaan
1. Bertolak atas existing condition
2. Kebutuhan
3. Berpikir dalam kesisteman
4. Partisipatif
5. Efektifitas
6. Efisiensi
7. Fleksibilitas
8. Nilai tambah atau keuntungan
9. Desentralisasi
10. Keberlanjutan
Kelompok
Dalam perspektif
pembangunan, kelompok dianggap sangat strategis dalam meningkatkan partisipasi sosial,
memfasilitasi proses belajar, dan bahkan sebagai wadah
bersama dalam penyaluran aspirasi. Sejalan dengan pandangan ini, kenyataan menunjukkan bahwa di setiap
desa terdapat banyak jenis dan jumlah kelompok,
seperti kelompok tani, kelompencapir, kelompok masyarakat – Inpres Desa Tertinggal (pokmas IDT), dan
perkumpulan petani pemakai air (P3A). Selain itu
ada lagi yang disebut sebagai kelompok petani kecil yang terbentuk melalui Proyek Peningkatan Pendapatan Petani dan
Nelayan Kecil (P4K) dan lain-lainnya.
Pengertian Kelompok
Ø Kelompok adalah
kumpulan orang-orang yang merupakan kesatuan sosial yang mengadakan interaksi yang intensif dan
mempunyai tujuan bersama.
Ø Menurut DeVito
(1997) kelompok merupakan sekumpulan individu yang cukup kecil bagi semua anggota untuk
berkomunikasi secara relatif mudah. Para anggota
saling berhubungan satu sama lain dengan beberapa tujuan yang sama dan memiliki semacam organisasi atau
struktur diantara mereka. Kelompok mengembangkan
norma-norma, atau peraturan yang mengidentifikasi tentang apa yang dianggap sebagai perilaku yang
diinginkan bagi semua anggotanya.
Ø Kelompok
mempunyai karakteristik sebagai berikut :
1.
Terdiri dari dua orang atau lebih
2. Berinteraksi
satu sama lain
3. Saling
membagi beberapa tujuan yang
sama
4.
Melihat dirinya sebagai suatu kelompok
Ø Kesimpulan dari
berbagai pendapat ahli tentang pengertian kelompok adalah kelompok tidak terlepas dari elemen
keberadaan dua orang atau lebih yang melakukan
interaksi untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama. Kelompok tidak sekedar instrumen untuk
implementasi kebijakan, tetapi merupakan
wadah pemberdayaan masyarakat pedesaan. Menilik pada konsep Ife (1995) dimana pemberdayaan sebagai suatu
proses untuk meningkatkan kekuatan pihak-pihak
yang kurang beruntung, hanya dapat dilakukan melalui pendekatanpendekatan yang mampu melibatkan mereka dalam
proses pengembangan kebijakan, perencanaan,
aksi sosial politik, dan proses pendidikan. Esensi
proses pemberdayaan yang digarikan oleh Ife (1995) tersebut menjadi argumentasi bahwa upaya revitalisasi
peran kelompok hanya dapat dilakukan melalui proses-proses
yang partisipatif, dari tahap pembentukan atau inisiasi, perencanaan, aksi, pengawasan atau evaluasi, hingga pada
berbagi hasil yang diperoleh kelompok. Chamala
(1995) dengan konsepnya tentang Participative Action Management (PAM) menggaris bawahi bahwa suatu kelompok
yang efektif terbentuk minimal dalam waktu enam
bulan, sejak tahap Inisiasi hingga tahap pengembangan fungsi kelompok.
Pada tahap inisiasi misalnya,
diperlukan suatu kesadaran bersama akan eksistensi masalah dan kebutuhan. Melibatkan anggota dan pengurus kelompok
dalam proses inisiasi hingga pengembangan
fungsi kelompok, menurut Chamala (1995) menjadi bagian
sentral dari proses
pemberdayaan kelompok, yang pada gilirannya munculnya kepercayaan akan kemampuan diri (self-empowerment),
tanggung jawab, dan komitmen
Fase Proses Pembentukan Kelompok
Fase-fase
berikut memberikan satu ilustrasi praktis tentang proses pembentukan kelompok dalam pemberdayaan masyarakat
(Chamala, 1995).
FASE 1: INISIASI
ü Kesadaran tentang
adanya masalah internal & external (oleh pemimpim lokal, warga, petugas atau pihak-pihak
lainnya).
ü Penyatuan perhatian
terhadap masalah (diskusi informal diantara pihakpihak yang sadar akan adanya masalah).
ü Testing tentang adanya perhatian yang lebih
luas (diskusi informal dengan tokoh
masyarakat atau instansi terkait).
ü Mencari dukungan lebih
lanjut (khususnya dari tokoh masyarakat, agen pembaharu, dinas, dll).
FASE 2: PEMBENTUKAN
ü Undang untuk pertemuan (meliputi
staf dari instansi terkait dan tokoh masyarakat.
Hal yang pokok yang ingin dicapai dalam tahap ini adalah pemilihan panitia pengarah, yang kemudian bertugas
menyusun draf rencana umum dan struktur kelompok).
ü Mengembangkan struktur
kelompok sementara dan rencana umum (dengan mempertimbangkan kebijakan pemerintah,
dan mencari informasi serta bantuan dari pihak-pihak
terkait).
ü Pengesahan struktur dan
rencana umum kelompok dalam suatu rapat umum(biasanya
panitia pengarah terpilih sebagai pengurus kelompok).
FASE 3:AKSI
ü Memeriksa
rencana umum guna merumuskan tujuan jangka pendek (fokuskan pada satu proyek yang
viable).
ü Mengembangkan
rencana kerja dan menetapkan program kerja (misalnya memutuskan apa yang perlu dilakukan,
sumberdaya, waktu, koordinasi, dll).
ü Implementasi rencana
kerja (pelatihan, demonstrasi, dll).
ü Evaluasi dan
dokumentasi kemajuan.
FASE 4:
PENGEMBANGAN/PEMBUBARAN
ATAU
RESTRUKTURISASI
ü Mengembangkan
fungsi yang sudah ada (tangani lebih banyak masalah, capai sasaran atau target yang lebih
luas, perbanyak inisitif. Dalam hal kelompok tani, tingkatkan jumlah penyaluran saprodi,
kurangi kredit macet, dll).
ü Kembangkan
fungsi baru (tidak saja memperbanyak pelayanan buat
anggota, tetapi juga kembangkan fungsi
"berperan ke atas dan atau ke samping", menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang lebih
luas.
ü Perluasan
kelompok (mengembangkan jangkauan lokasi atau membentuk subkelompok baru yang sesuai). Sumber : Muktasam, 2002
DAFTAR PUSTAKA
Agusta, I. 2007. Aneka Metode
Partisipasi Untuk Pembangunan Desa
Sosiolog Pedesaan Institut Pertanian Bogor. Di akses, 2 November 2007.Cathart, R.S.,
and Larry A. Samovar, 1974. Small Group Communication : A Reader.New
York : Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Chamala, R.S., 1995. Overview of
Participative Action Approaches in Australian Land and Water Management.
Dalam Chamala, S. and Keith, K. (eds), 1995.
Participative Approaches for Landcare:
Perspective, Policies, Program.
Brisbane : Australian Academic Press.
Chambers, R. (1985). Rural
development : putting the last first. London ; New York:
Longman.
Friedman, John, 1992. Empowerment The
Politics of Alternative Development.
Blackwell Publishers, Cambridge, USA.
Hikmat, H., 2004. Strategi Pemberdayaan
Masyarakat. Penerbit Humoniora, Bandung.
Kartasasmita, Ginandjar, 1996.
Pembangunan Untuk Rakyat – Memadukan Pertumbuhan
dan Pemerataan. Penerbit PT. Pustaka CIDESINDO, Jakarta.
Khairuddin, 2000. Pembangunan
Masyarakat., Tinjauan Aspek: Sosiologi, Ekonomi dan
Perencanaan. Liberty, Yogyakarta.
Ife, J.W., 1995. Community
Development: Creating Community Alternatives-vision,Analysiis and Practice. Melbourne
: Longman.
Muktasam, A. (2000). A Longitudinal
Study of Group Roles in Indonesian Rural
Development: An Analysis of Policy
Formulation, Implementation and Learning
Outcomes. The University of Queensland (Ph.D Thesis).
Prijono, O.S. dan Pranarka, A.M.W.,
1996. Pemberdayaan: Konsep, Kebijakan dan Implementasi.
Penerbit Centre for Strategic and International Studies, Jakarta.
Sumodiningrat, G. (1999). Pemberdayaan
Masyarakat dan Jaring Pengaman Sosial Jakarta:
Gramedia.
Syahyuti, 2006. 30 Konsep Penting dalam
Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta
: Bina Rena Pariwara.
program-program pembangunan
pertanian dan perdesaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar